Alfan Fazan Jr.: Sejarah - Oretan tentang pendidikan di Indonesia
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Asal Usul Pulau Madura 0

Asal Usul Pulau Madura

Diceritakan bahwa pulau Madura ini bermula terlihat oleh pelajar-pelajar pada jaman purbakala sebagai pulau yang terpecah-pecah sehingga merupakan beberapa puncak-puncak tanah yang tinggi (yang sekarang menjadi puncaknya bukit-bukit di Madura) dan beberapa tanah datar yang rendah apabila air laut surut kelihatan dan apabila air laut pasang tidak kelihatan (ada di bawah air). Puncaknya-puncak yang terlihat itu diantaranya yang sekarang disebut Gunung Geger di daerah Kabupaten Bangkalan dan Pegunungan Pajudan di daerah Kabupaten Sumenep.

Diceritakan bahwa pada jaman purba ada suatu negara yang bernama negara Mendangkawulan yang didalamnya terdapat subuah kraton yang bernama Gilling Wesi. Rajanya bernama Sanghiangtunggal. Menurut dugaan orang Madura dikiranya ada disuatu tempat didekat Gunung Semeru didekat puncakala yang bernama Gunung Bromo. Jaman tersebut kira-kira sekitar tahun 929 Masehi.

Raja tersebut mempunyai seorang putri yang masih gadis. Pada suatu hari, putri tersebut bermimpi kemasukan rembulan dari mulutnya terus masuk ke dalam perutnya dan tidak keluar lagi. Setelah beberapa bulan setelah kejadian itu, putri tesebut menjadi hamil dan tidak ketahuan siapa ayah dari calon bayi tersebut. Beberapa kali ayahnya bertanya tentang sebab musababnya, tapi putrinya sama sekali tidak menjawab karena iapun juga tidak mengetahui apa yang telah terjadi pada dirinya.

Raja tadi amat marah dan memannggil Patihnya yang bernama Pranggulang. Patih tersebut diperintah untuk membunuh putri tersebut dan membawa kepala putrinya ke hadapan raja tersebut. Apabila Patih tersebut tidak sanggup memperlihatkan kepala putrinya itu maka Patih tidak diperkenankan menghadap raja dan tidak dianggap lagi sebagai Patih di Kerajaannya.

Maka berangkatlah Patih dengan membawa sang Putri keluar dari Kraton menuju hutan rimba. Setelah sampai disuatu tempat di dalam hutan belantara, maka Patih menghunus pedangnya dan mulai memegang leher Putri tersebut, akan tetapi hampir pedang tersebut sampai ke lehernya pedang tersebut terjatuh ke tanah. Setelah kejadian tersebut sang Patih termenung dan berpikir bahwa hamilnya Putri tersebut tentu bukan dari kesalahannya, tetapi tentu ada hal yang luar biasa dan akhirnya Patih Pranggulang mengalah untuk tidak kembali ke rajanya dan mulai saat itu ia berubah nama menjadi Kijahi Poleng (Poleng artinya dalam Bahasa Madura yakni kain tenunan Madura) dan ia merubah pakaian yaitu memakai kain, baju dan ikat kepala dari kain poleng. Ia memotong kayu-kayu untuk dijadikan perahu (oleh orang Madura dinamakan Ghitek atau orang Jawa bilang Getek).

Sebelum Putri tadi diberangkatkan, Kijahi Poleng memberikan beberapa bekal berupa buah-buahan serta berpesan bahwa jika sang Putri memerlukan pertolongannya supaya sang Putri menghentakkan kakinya ketanah sebanyak 3 kali maka seketika itu Kijahi Poleng datang untuk menolongnya.

Putri tersebut oleh Kijahi Poleng didudukkan diatas ghitek itu yang kemudian ditendangnya Ghitek tersebut menuju “Madu Oro” (pojok di ara-ara) artinya pojok menuju ke arah yang luas. Diceritakan bahwa sebab inilah Pulau ini bernama Madura. Ada juga yang mengatakan bahwa nama Madura itu dari perkataan “Lemah Dhuro” artinya tanah yang tidak sesungguhnya yaitu apabila air laut pasang tanahnya tidak kelihatan, apabila air laut surut maka tanah akan kelihatan.

Singkat cerita Ghitek tersebut terdampar di Gunung Geger (disitu asalnya tanah Madura) dan memang menurut Babad-babad apabila ada yang tertulis perkataan tanah Madura, maka yang dimaksudkan adalah Kabupaten Bangkalan juga termasuk Kabupaten Sampang, sedangkan apabila ada yang menyebutkan daerah-daerah disebelah Timur dari daerah-daerah tersebut maka dimaksudkan adalah Kabupaten Sumenep atau Sumekar atau Sumanap dan dituliskannya Pamekasan.

Pada suatu ketika perut sang Putri mulai terasa sakit seolah akan menemui ajalnya, disitu ia menghentakkan kakinya ketanah 3 kali guna meminta pertolongan Kijahi Poleng. Maka seketika itu Kijahi Poleng datang dan iapun bila bahwa sang Putri akan segera melahirkan. Tidak lama kemudian lahirlah seorang anak laki-laki yang roman mukanya amat bagus yang kemudian diberi nama “Raden Segoro” (Segoro artinya lautan). Keluarga itu menjadi penduduk pertama di Madura. Setelah itu Kijahi Poleng menghilang lagi, tetapi ia sering datang mengunjungi sang Putri dengan membawa makanan atau buah-buahan.

Diceritakan bahwa perahu-perahu orang dagang yang berlayar dari beberapa kepulauan di Indonesia apabila pada waktu malam hari melalui lautan dekat tempatnya Raden Segoro tersebut, maka mereka melihat cahaya yang terang seolah-olah cahaya rembulan, maka mereka akan berhenti untuk berlabuh ditempat itu (Geger Madura) dan akan membuat selamatan makan minum disitu serta memberi hadiah kepada yang bersahaja itu.

Setelah berumur dua tahun Raden Segoro sering bermain-main di tepi lautan, dan pada suatu hari dari arah lautan datanglah dua ekor naga yang amat besarnya mendekatinya. Dengan ketakutan, maka Raden Segoro berlari sambil menangis dan menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Merasa khawatir takut anaknya dimakan ular naga tersebut, maka ibunya memanggil Kijahi Poleng. Dan seketika itu Kijahi Poleng datang menemui si Ibu, maka si ibu menceritakan kejadian yang menimpa putranya tersebut. Kemudian kijahi Poleng mengajak Raden Segoro bermain-main di tepi laut. Tidak beberapa lama datanglah dua ekor naga raksasa itu, lalu Kijahi Poleng menyuruh Raden Segoro agar memegang ekor ular dan membantingkannya ke tanah. Raden Segoro menolak permintaan Kijahi Poleng, tetapi karena paksaan tersebut akhirnya Raden Segoro memenuhi permintaan tersebut. Kemudian dipegangnya dua ekor naga raksasa tersebut dan dibantingkannya ke tanah. Seketika itu juga dua ekor ular naga raksasa tersebut berubah menjadi dua bilah tombak. Kedua bilah tombak tersebut kemudian diberikan kepada Kijahi Poleng untuk dibawa menghadap ibunya raden Segoro. Tombak satunya diberi nama “Kijahi (si) Nenggolo” dan satunya diberi nama “Kijahi (si) Aluquro”

Pada usia 7 tahun Raden Segoro pindah dari Gunung Geger ke Desa Nepa. Nama Nepa itu karena disitu banyak sekali pohon Nepa. Pohon nepa atau Bhunyok yaitu pohon sejenis kelapa tapi lebih kecil dan tidak besar seperti halnya pohon kelapa, daunnya dapat dibuat atap rumah, yang masih muda dapat dibuat rokok (seperti klobot). Desa tersebut letaknya berada di daerah Ketapang Kabupaten Sampang dipantai sebelah Utara (Java Zee) dan hingga sekarang masih banyak keranya.

Pada suatu ketika, Negara Mendangkawulan kedatangan musuh dari Tjina. Didalam peperangan tersebut Raja Mendangkawulan berkali-kali kalah sehingga rakyatnya hampir habis dibunuh oleh musuh. Didalam keadaan bingung dan susah tersebut, suatu malam Raja Mendangkawulan bermimpi bertemu dengan orang tua yang berkata bahwa di sebelah pojok Barat Daya dari Kraton tersebut ada Pulau bernama Madu Oro (Lemah Dhuro) atau Madura. Disitu berdiam seorang anak muda bernama Raden Segoro. Raja disuruhnya untuk meminta pertolongan kepada Raden Segoro apabila ingin memenangkan peperangan.

Keesokan harinya Raja memerintahkan Pepatihnya supaya membawa beberapa prajurit ke Madura sesuai dengan Mimpinya tersebut. Sesampainya di Madura, Pepatih langsung menemui Raden Segoro dan menceritakan tentang kejadian yang menimpa kerajaannya serta meminta pertolongan Raden Segoro untuk membantunya. Dan juga meminta ijin kepada ibunya agar ibunya mengijinkan putranya untuk membantunya. Si ibu memanggil Kijahi poleng untuk mendampingi Raden Segoro guna membantu peperangan raja itu dari serangan musuh (Tjina). Kemudian berangkatlah Raden Segoro, Kijahi Poleng serta Pepatih dan prajuritnya menuju Kraton Mendangkawulan dengan membawa pusaka tombak Kijahi Nenggolo.

Kijahi Poleng ikut serta akan tetapi tidak kelihatan oleh yang lain kecuali Raden Segoro. Dan sesampainya di negara tersebut, Raden Segoro langsung berperang dengan tentara Tjina dengan didampingi oleh Kijahi Poleng. Pusaka Kijahi Nenggolo hanya ditujukan kearah tempat sarang-sarang musuh maka banyak musuh yang mati karena mendadak menderita sakit dan tidak lama kemudian semua musuh lari meninggalkan negara Mendangkawulan.

Raja Mendangkawulan mengadakan pesta besar untuk merayakan kemenangan perang dan memberi penghormatan besar kepada Raden Segoro serta memberi gelar “Raden Segoro alias Tumenggung Gemet” yang artinya semua musuh apabila bertarung dengannya maka akan habis (Gemet = Bahasa Djawa)

Raja Sanghiangtunggal berhajat untuk mengambil anak mantu kepada Tumenggung Gemet dan menghantarkan dia (suruhan Pepatih dan tentara kehormatan) dengan disertai surat terima kasih kepada ibunya. Raja menanyakan siapa ayahnya, maka Raden Segoro akan menanyakan kepada ibunya nanti. Kemudian Raden Segoro mohon ijin kepada Raja Mendangkawulan untuk kembali ke Madura.

Setelah sampai, maka Raden Segoro kembali menanyakan perihal ayahnya kepada ibunya. Ibunya merasa kebingungan dan menjawabnya bahwa ayahnya adalah seorang siluman. Maka seketika itu pula lenyaplah ibu dan anaknya serta rumahnya yang disebut dengan sebutan Kraton Nepa.

Demikian riwayat asal usul tanah Madura, yang oleh orang tua-tua dikesankan bahwa Raden Segoro telah membalas hutang-hutangnya yang menghinakan ibunya dengan pembalasan yang baik yaitu menolong di dalam peperangan.

Diceritakan pula bahwa dikemudian hari Kijahi Nenggolo dan Kijahi Aluquro oleh Raden Segoro diberikan kepada Pangeran Demong Plakaran (Kijahi Demong) Bupati Arosbaya (Bangkalan). Dan mulai saat itu kedua bilah tombak tersebut (Kijahi Nenggolo dan Kijahi Aluquro) menjadi Senjata pusaka Bangkalan.

Madura dan Istilah Carok 0

Madura dan Istilah Carok

Berbicara Carok, maka yang timbul dibenak banyak orang adalah sebuah konotasi yang negative dan horror. Carok selalu identik dengan pembunuhan sadis, pertarungan senjata, duel hidup dan mati atas nama kehormatan, pembunuhan dendam 7 turunan atau bisa jadi pembantaian masal. Carok juga selalu sejajar dengan budaya suku Madura, sebuah suku yang konon berwatak keras, temperamental dan arogan (meski tidak semua demikian). Dalam banyak kasus, setiap pembunuhan yang dilakukan oleh suku Madura, maka kata Carok akan selalu muncul. Yang paling mengerikan lagi, carok selalu berdampingan dengan nama sebuah senjata yang disebut Are’=Clurit. Dan yang paling dramatis justru setiap kejahatan, aksi perampokan selalu identik dengan sanjata yg satu ini. Sungguh tragis nasib si Clurit….Namun demikian, benarkah budaya ini berasal dari Madura?…

Carok / Clurit Bentuk Perlawanan Rakyat Jelata

Carok berasal dari bahasa Kawi Kuno yang berarti Perkelahian. Secara harfiah bahasa Madura, Carok bisa diartikan Ecacca erok-orok (dibantai/mutilasi…?). Menurut D.Zawawi Imron seorang budayawan berjuluk Clurit Emas dari Sumenep, Carok merupakan satu pembauran dari budaya yang tidak sepenuhnya asli dari Madura. Carok merupakan putusan akhir atau penyelesaian akhir sebuah permasalahan yang tidak bisa diselesaikan secara baik-baik atau musyawarah dimana didalamnya terkandung makna mempertahankan harga diri.

Carok juga selalu identik dengan pembunuhan 7 turunan atas nama kehormatan. Tembeng Pote Matah, Angoan Pote Tolang (dari pada putih mata lebih baik putih tulang=dari pada menanggung malu, lebih baik mati atau membunuh). Dendam yang mengatasnamakan Carok ini bisa terus berlanjut hingga anak cucunya. Ibarat hutang darah harus dibayar darah.

Carok juga dilakukan demi mempertahankan harga diri. Misalnya istri diambil orang, maka carok merupakan putusan atau penyelesaian akhir yang akan dilakukan. Mereka akan saling membunuh satu dengan yang lain. Dan uniknya, bagi keluarga yang mengambil istri orang, maka jika dia terbunuh, tak satupun keluarga korban akan menuntut balas pembunuhan tersebut karena mereka memandang malu jika keluarganya sampai mengambil istri orang. Namun sebaliknya, apabila yang terbunuh adalah pihak yang punya istri, maka yang terjadi akan muncul dendam 7 turunan.

Pelaku Carok merupakan pelaku pembunuhan yang jantan atau sportif. Jika mereka telah membunuh, maka ia akan datang ke kantor polisi dan melaporkan dirinya bahwa ia telah membunuh orang. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab pembunuh kepada masyarakat sekaligus sebagai bentuk memohon perlindungan hukum. Meski beberapa kasus juga kerap terjadi, mereka menyewa pembunuh bayaran untuk membunuh lawannya, atau bias pula pelaku yang membunuh namun yang masuk penjara adalah orang lain, istilahnya membeli hukuman. Tentunya hal yang terakhir ini harus ada kompensasinya, yakni si pelaku harus memeberikan semua biaya hidup pada keluarga orang yang telah bersedia masuk penjara atas namanya.
Carok juga selalu identik dengan senjata Clurit. Sebuah senjata yang pada awalnya merupakan senjata untuk menyabit rumput. Madura tidak mengenal senjata tersebut. Sejak masa Raden Segoro hingga Banyak Wide (1269), pangeran Joko Tole (1415) hingga ke masa Cakra Ningrat atau kyai Pragolbo (1531) senjata Clurit masih belum ada. Mereka hanya mengenal senjata tombak, pedang, keris dan panah sebagaimana umumnya prajurit-prajurit kerajaan. Hingga permulaan berdirinya Majapahit yang didukung oleh kerajaan Sumenep, maupun sebelumnya pada masa Tumapel hingga Singasari yang jatuh oleh kerajaan Gelang-Gelang Kediri yang dibantu pasukan Madura, senjata Clurit masih belum ada. Bahkan pada masa penyerbuan ke Batavia oleh Fatahillah yang dibantu pasukan Madura, juga mereka masih bersenjatakan Keris atau yang lainnya (bukan Clurit). Bahkan pada peristiwa Branjang Kawat dan Jurang Penatas, sama sekali tak ada senjata clurit disebut-sebut.

Menurut R.Abdul Hamid, salah seorang keturunan dari Cakraningrat menerangkan, bahwasannya budaya carok merupakan pengejawantahan yang dilakukan oleh masyarakat madura yang dulunya masih banyak yang memiliki pendidikan rendah. namun seiring perkembangan jaman, dimana banyak guru2 impres yang datang ke madura, Carok pun mulai berkurang.

Hanya Calok yang disebutkan dalam babat Songenep. Calok sendiri merupakan senjata Kek Lesap (1749) yang memberontak dan hampir menguasai semua dataran Madura. Senjata Calok juka pernah dipakai balatentara Ayothaya Siam dalam perang melawan kerajaan lain. Pada masa itu yang popular berbentuk Calok Selaben dan Lancor. Konon senjata Calok dibawa prajurit Madura ke Siam sebagai bagian dari bala bantuan kerajaan Madura dalam pengamanan di tanah Siam.

Menurut Budayawan Celurit Emas D.Zawawi Imron, senjata Clurit memiliki filosophy yang cukup dalam. Dari bentuknya yang mirip tanda Tanya, bisa dimaknai sebagai satu bentuk kepribadian masyarakat Madura yang selalu ingin tahu.

Lantas bagaimana kisah sebenarnya?. Sejak kapan istilah Carok dan Clurit ini dikenal? Hingga sekarang ini masih belum ada sebuah penelitian yang menjurus pada kalimat yang berbau sangar ini. Yang pasti, kalimat ini pertama kali dikenalkan pada masa pak Sakerah seorang mandor tebu di bangil-pasuruan yang menentang ketidak adilan colonial Belanda. Dengan senjata Clurit yang merupakan symbol perlawanan rakyat jelata pada abat 18. Kompeni yang merasa jengkel dengan perlawanan Pak sakerah kemudian menyewa centeng-centeng kaum Blater Madura untuk menghadapi Pak. Sakerah. Namuni, tak satupun dari kaum blater tersebut menang dari pak Sakerah. Yang jadi pertanyaan, benarkah pak sakerah sangat pandai bermain jurus-jurus clurit?..tak ada satu sumberpun yang bias menjawab pasti.

Sejak saat itu, perlawanan rakyat jelata dengan Clurit mulai dikenal dan popular. Namun demikian, senjata Clurit masih belum memiliki disain yang memadai sebagai alat pembunuh. Rakyat Pasuruan dan Bangil ketika itu hanya memiliki senjata yang setiap harinya dugunakan untuk menyabit rumput itu. Sehingga kepopuleran Clurit sebagai senjata perang rakyat jelata makin tersebar. Karena itulah Propaganda Belanda untuk menyudutkan pak Sakerah cukup berhasil dengan menggunakan dua istilah yakni Carok dan Clurit.

Tragedi Bere’ Temor Populerkan Carok dan Clurit

Carok dan Clurit ibarat mata uang logam dengan dua gambar. Istilah ini terus bermetamorfosa hingga pada tahun 70 an terjadi peristiwa yang membuat bulu kudu berdiri. Sayangnya peristiwa yang memakan korban banyak ini tidak terespos media karena pada masa itu jaringan media tidak seheboh sekarang. Sehingga tragedy yang disebut oleh masyarakat Madura sebagai tragedy Bere’ Temor (barat-timur.Red) sama sekali tak pernah mencuat dikalangan umum, namun hanya dirasakan dikalangan orang Madura sendiri.

Peristiwa tersebut merupakan gap antara blok Madura barat yang diwakili Bangkalan dengan Madura Timur yang diwakili Sampang. Konon peristiwa tersebut cukup membuat masyarakat setempat dicekam ketakutan. Karena hampir setiap hari selalu terdapat pembunuhan. Baik dipasar, jalan, sawah atau dikampung-kampung. Saat itulah istilah Carok dan senjata Clurit makin popular.

Pada masa Bere’ temor tersebut beberapa desa seperti Rabesen barat dan Rabesen Timur, Gelis, Baypajung, Sampang, Jeddih dan beberapa desa lain cukup mewarnai tragedy tersebut. Lama tragedy tersebut terjadi hingga keluar dari Madura, yakni Surabaya dan beberapa daerah lainnya.

Menurut H.Abdul Majid, seorang tokoh Madura asal Beypanjung-Tanah Merah yang dipercaya kepolisian kabupaten Bangkalan untuk menjadi pengaman dan penengah Carok se Madura, menerengkan bahwa Carok jaman dulu adalah perkelahian duel hidup mati antara kedua belah pihak yang bertikai. Carok pada masa itu selalu identik dengan duel maut yang berujung dendam pada keluarga berikutnya.

Hafil M, seorang tokoh Madura juga menerangkan bahwa pada masa itu setiap orang yang hendak bercarok akan melakukan satu ritual khusus dengan doa selamatan ala islam kemudian melekan dan mengasah Clurit mereka serta mengasapinya dengan dupa. Keesokan harinya, mereka semua akan menghiasi mukanya dengan angus hitam.

Ungkapan senada juga disampaikan oleh Mas Marsidi Djoyotruno, seorang pelaku peristiwa menghebohkan tersebut. Menurutnya, pada tragedy gap antara Madura barat dan Madura timur tersebut selalu membawa kengerian, setiap orang yang bertemu meski tidak kenal akan langsung saling bunuh asal mereka dari dua kubu tersebut.tak peduli mereka bertikai atau tidak. Ini semua dilakukan demi harga diri desanya atau yang lainnya. Masih menurut Mas Marsidi, tragadi tersebut cukup banyak menelan korban jiwa. Bahkan menurut seorang pelaku lainnya Abah Ali juga mengungkapkan, tragedy tersebut 1/2nya mirip kasus Sampit. Korban yang terbunuh menumpuk bagai ikan tangkapan di jaring.

Perkembangan disain clurit sendiri baru mulai betul-betul khusus untuk membunuh, diperkirakan pada masa revolosi 1945. Dimana resimen 35 Joko Tole yang memberontak pada Belanda di pulau tersebut. Belanda yang dibantu pasukan Cakra (pasukan pribumi madura) kerap berhadapan dengan pasukan siluman tersebut. Meski tidak semua pasukan resimen 35 Joko Tole ini memiliki senjata Clurit, namun kerap terjadi pertarungan antara pasukan Cakra dengan resimen 35 Joko Tole ini kedua belah pihak sudah ada yang menggunakan senjata Clurit, meski hanya sebatas senjata ala kadarnya.

Disain clurit yang sekarang ini kita lihat merupakan disain dari peristiwa Bere’ Temor (barat-timur) yang menghebohkan ditahun 1968 hingga 80-an. Pada masa ini disain clurit mulai dikenal dengan berbagai bentuk. Mulai dari Bulu Ajem, Takabuan, Selaben hingga yang lainnya. Dan pada peristiwa tersebut Clurit mulai jadi kemoditi bagi masyarakat Madura.

Pergeseran Budaya Carok

Dewasa ini Carok yang dilakukan oleh saudara-saudara Madura telah bergeser. Jika dahulu merupakan duel hidup mati dan bisa menyambung terus pada keturunannya hingga ke 7, maka sekarang ini Carok dilakukan secara pengecut. Beberapa kasus yang terjadi justru timbul dengan alasan yang tidak masuk akal. Hanya karena carger poncelnya dihilangkan, seorang saudara sepupu tega membunuh kakaknya dengan keroyokan(bolodewo-surabaya 12/1/2008). Gara-gara adiknya digoda tetangga, seorang kakak membunuh tetangganya dari belakang (Arimbi-surabaya1999). Gara-gara istrinya yang sudah dicerai 4 tahun silam kawin dengan temannya, mantan suaminya mengeroyok suami istrinya tersebut bahkan membunuh sang mantan istrinya (nyamplungan-surabaya 1993).

Carok yang terjadi sekarang berbeda dengan Carok pada masa kejayaannya. Carok yang dilakukan sekarang sistimnya keroyokan yang tidak berimbang. Kadang 1 lawan 3 atau 1 lawan 5. Celakanya lagi carok sekarang kebanyakan menggunakan pembunuh bayaran yang rela masuk penjara atas nama uang yang cuman Rp 100.000,-.. Contoh lagi yang sangat menggemparkan terjadi di tahun 2005 di desa Galis. Ramai tersiar kabar pembunuhan massal karena kalah jadi calon lurah.

Yang membuat esensi Carok menjadi terlihat pengecut justru terjadi apabila yang membunuh masuk penjara, maka yang akan menjadi incaran pembunuhan pihak korban adalah anaknya yang masih usia belasan atau saudara lainnya yang masih ada hubungan darah meski jauh. Dan ini kerap terjadi. Sekarang seorang tewas, maka dalam tempo 5 jam saudara atau keluarga pihak yang membunuh akan tewas dibantai di tempat lain. Karena itu tak jarang apabila seseorang telah melakukan pembunuhan pada orang lain, yang was-was justru keluarga lainnya, karena takut dibantai pula.

Tamperamental watak suku Madura yang keras dengan kondisi pulau yang panas, hampir penuh dengan perbukitan batu gamping dengan kontur tanah yang nyaris tandus dan sedikit sumber mata air, jelas mempengaruhi kondisi fisik maupun watak keras suku ini. Meski tidak semuanya demikian, namun hampei rata-rata berwatak keras dan bersuara lantang kadang suka ngomong yang ngawur.

Omongan inilah yang kerap jadi pemicu terjadinya Carok. Contoh kasus yang terjadi di Jakarta pada tahun 2006. Seorang Madura yang ditagih uang kontrakannya justru menjawab dengan “nanti saya bayar dengan clurit” membuat tuan rumah geram dan membantainya dengan 16 tusukan dan tewas seketika. Ini semua merupakan awal dari carok.

Meski iklim pesantren cukup membuat suasana watak suku Madura dingin, namun hal itu tak bertahan lama. Karena rata-rata para tokoh agamawan di Madura cenderung diam bila bicara soal harga diri. Hampir 90% masyarakat Madura memilih anaknya untuk di pondokkan ke pesantren ketimbang disekolahkan. Hal ini menurut beberapa sumber juga jadi penyebab tingkat pendidikan yang kurang menimbulkan pikiran pendek masyarakatnya. Tak jarang beberapa tokoh agamawan memberikan semacan azimat atau ijazah kepada mereka untuk keselamatan, celakanya yang terjadi justru adalah keselamatan bagi pembunuhnya bukan bagi target yang akan dibunuh.

Namun demikian, sekarang ini seiring dengan intelektual masyarakat madura yang mulai banyak mengerti karena berpendidikan tingga, menjadikan Carok mulai pudar sedikit demi sedikit. Carok yang awalnya bukan budaya Madura, kemudian bermetamorfosa dengan kondisi dan menjadi lekat dengan tradisi Madura, kini sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan oleh generasi mudanya.

Oto’-Oto’ Sarana Mencari Saudara yang Mimbingungkan

Tingkat pendidikan masyarakat Madura memang dipandang sebagai pemicu utama munculnya Carok yang tidak berkesudahan. Hal ini terbukti di daerah Sumenep. Nyaris masyarakat Madura di daerah ini yang merupakan pusat keraton Sumenep pada masa kerajaan Pajajaran, Tumapel hingga Majapahit tidak terdengar soal perselisihan yang mengakibatkan carok. Di Sumenep rata-rata masyarakatnya memiliki pendidikan yang tinggi disamping pengetahuan agamanya yang merupakan wajib dan harus dikuasai. Tingkat kematian atas nama carok didaerah tersebut nyaris tak ada. Asumsi beberapa ahli kriminalitas mengatakan dan berpendapat sama soal yang satu ini. Meski sama-sama suku Madura, namun orang Sumenep jauh lebih modernt ketimbang daerah lainnya.

Ada budaya lain yang pada awal berdirinya merupakan cara saudara-saudara Blater Madura untuk mengurangi pembunuhan tersebut, yakni Oto’-oto’. Sejenis kumpul-kumpul atau perkumpulan dalam rangka mengumpulkan saudara satu kampung yang diisi dengan acara saling membantu satu dengan yang lain lewat sumbangan duit semacam arisan yang merupakan pengikat dari kumpulan ini.

Pada awalnya budaya ini cukup topcer dan mampu meredam Carok. Karena apabila terjadi carok antara satu dengan yang lain, atau antara desa satu dengan yang lain, maka masing-masing tetuah blateran dari otok-otok tersebut akan berkumpul dan bermusyawarah untuk mencari penyelesaian soal carok tersebut. Dan terbukti banyak bermanfaat.

Sayangnya kegiatan ini kemudian bergteser dan bahkan terkadang muncul permasalahan baru. Yakni bagi mereka yang punya utang dari arisan tersebut, bisa timbul carok. Dan ini terjadi dibeberapa kasus. Bahkan tak jarang dari anggota tersebut kemudian kabur menjadi TKI. Celakanya lagi, sang tetuah yang mestinya sebagai penengah, akan ikut-ikutan memburu anggota yang mangkir tersebut. Inilah yang kemudian membingungkan. Karena yang berkembang kemudian, perkumpulan tersebut bukan sebuah ajang yang baik dan bisa jadi penengah, namun justru sebaliknya menambah permasalahan baru.

Kaum Blateran juga turut mewarnai politik kepemimpinan di tanah Madura. Hingga ada istilah yang jadi Klebun/Lurah itu harus dari kalangan Blater, kalau tidak maka akan banyak maling. Namun kenyataannya meski kalangan Blater yang menjadi lurah didesa tersebut, masih banyak yang terjadi maling-maling sapi di desa tersebut.

Banyak klebun Blater tersebut justru sibuk dengan remoh/oto’-oto’ dengan blater lainnya sehingga malas mengurus desanya. Bahkan yang paling parah justru terjadi sebagian lurah memelihara maling sapi untuk mencari keuntungannya sendiri.

Dewasa ini kaum blateran sudah mulai sedikit dan lurah dari kaum blateran sudah mulai terkikis. Hal tersebut terjadi oleh karena tingkat pendidikan mereka yang kini mulai memadai. Selain itu peraturan seorang lurah yang harus lulusan SLTA cukup mendongkrak kredibilitas lurah Madura.

Sistem Pertarungan Ala Carok Madura

Bicara sistem pertarungan ala carok Madura dibutuhkan satu penelitian yang cukup panjang dan melelahkan. Tak hanya penggalian data dari nara sumber yang pernah terlibat langsung, namun juga harus menggali secara langsung kejadian-kejadian di TKP. Sepanjang penelitian yang dilakukan oleh lembaga CV, sistim pertarungan ala carok dewasa ini adalah sebagai berikut :
  • Mereka akan melakukan satu permainan keroyokan 1:3 atau lebih.
  • Mereka akan memancing lawannya dengan tusukan pisau cap garpu dari depan. Kadang sengaja untuk ditangkap namun kemudian diperkuat agar saling dorong hingga lawan lengah kadang pula memang ditusukkan secara sungguh-sungguh
  • Sementara dari belakang bersiap yang lainnya untuk melakukan bacokan mematikan dengan clurit atau calok.
  • Mereka juga mempersiapkan dan melengkapi dengan berbagai ritual dan azimat dari para kyai.
  • Yang paling sering adalah bacokan langsung dari belakang kepada lawannya yang sedang lengah.
  • Nyaris dan sangat jarang terjadi pertarungan carok sistim duel satu lawan satu.

Oleh:
Mas Mochamad Amien: Pengasuh Pencak Silat Madura | CHAKRA-V MMA STYLE sekaligus pemerhati Budaya Madura
Sejarah Sumenep 0

Sejarah Sumenep

Sejarah Sumenep jaman dahulu diperintah oleh seorang Raja. Ada 35 Raja yang telah memimpin kerajaan Sumenep. Dan, sekarang ini telah dipimpin oleh seorang Bupati. Ada 14 Bupati yang memerintah Kabupaten Sumenep.

Mengingat sangat keringnya informasi/data yang otentik seperti prasati, pararaton, dan sebagainya mengenai Raja Sumenep maka tidak seluruh Raja-Raja tersebut kami ekspose satu persatu, kecuali hanya Raja-Raja yang menonjol saja popularitasnya.
Pendekatan yang kami gunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan historis dan kultural, selain itu kami gunakan juga pendekatan ekonomis, psikologis dan edukatif.

JAMAN PEMERINTAH KERAJAANARYA WIRARAJA

Arya Wiraja dilatik sebagai Adipati pertama Sumenep pada tanggal 31 Oktober 1269, yang sekaligus bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sumenep. Selama dipimpin oleh Arya Wiraja, banyak kemajuan yang dialami kerajaan Sumenep. Pria yang berasal dari desa Nangka Jawa Timur ini memiliki pribadi dan kecakapan/kemampuan yang baik. Arya Wiraja secara umum dikenal sebagai seorang pakar dalam ilmu penasehat/pengatur strategi, analisanya cukup tajam dan terarah sehingga banyak yang mengira Arya Wiraja adalah seorang dukun.
Adapun jasa-jasa Arya Wiraja :
  • Mendirikan Majapahit b ersama dengan Raden Wijaya.
  • Menghancurkan tentara Cina/tartar serta mengusirnya dari tanah Jawa.
Dalam usia 35 Tahun, karier Arya Wiraja cepat menanjak. Mulai jabatan Demang Kerajaan Singosari kemudian dipromosikan oleh Kartanegara Raja Singosari menjadi Adipati Kerajaan Sumenep, kemudian dipromosikan oleh Raden Wijaya menjadi Rakyan Menteri di Kerajaan Majapahit dan bertugas di Lumajang. Setelah Arya Wiraja meninggalkan Sumenep, kerajaan di ujung timur Madura itu mengalami kemunduran. kekuasaan diserahkan kepada saudaranya Arya Bangah dan keratonnya pindah dari Batuputih ke Banasare di wilayah Sumenep juga. Selanjutnya diganti oleh anaknya, yang bernama Arya Danurwendo, yang keratonnya pindah ke Desa Tanjung. Dan selanjutnya diganti oleh anaknya, yang bernama Arya asparati. Diganti pula oleh anaknya bernama Panembahan Djoharsari. Selanjutnya kekuasaan dipindahkan kepada anaknya bernama Panembahan Mandaraja, yang mempunyai 2 anak bernama Pangeran Bukabu yang kemudian menganti ayahnya dan pindah ke Keratonnya di Bukabu (Kecamatan Ambunten). Selanjutnya diganti oleh adiknya bernama Pangeran Baragung yang kemudian pindah ke Desa Baragung (Kecamatan Guluk-guluk).

PANGERAN JOKOTOLE (Pangeran Secodiningrat III)

Pangeran Jokotole menjadi raja Sumenep yang ke 13 selama 45 tahun (1415-1460). Jokotole da adiknya bernama Jokowedi lahir dari Raden Ayu Potre Koneng, cicit dari Pangeran Bukabu sebagai hasil dari perkawinan bathin (melalui mimpi) dengan Adipoday (Raja Sumenep ke 12). Karena hasil dari perkawinan Bathin itulah, maka banyak orang yang tidak percaya. Dan akhirnya, seolah-olah terkesan sebagai kehamilan diluar nikah. Akhirnya menimbulkan kemarahan kedua orang tuanya, sampai akan dihukum mati. Sejak kehamilannya, banyak terjadi hal-hal yang aneh dan diluar dugaan. Karena takut kepada orang tuanya maka kelahiran bayi RA Potre Koneng langsung diletakkan di hutan oleh dayangya. Dan, ditemukan oleh Empu Kelleng yang kemudian disusui oleh kerbau miliknya. 

Peristiwa kelahiran Jokotole, terulang lagi oleh adiknya yaitu Jokowedi. Kesaktian Jokotole mulai terlihat pada usia 6 tahun lebih, seperti membuat alat-alat perkakas dengan tanpa bantuan dari alat apapun hanya dari badanya sendiri, yang hasilnya lebih bagus ketimbang ayah angkatnya sendiri. Lewat kesaktiannya itulah maka ia membantu para pekerja pandai besi yang kelelahan dan sakit akibat kepanasan termasuk ayah angkatnya dalam pengelasan membuat pintu gerbang raksasa atas pehendak Brawijaya VII. Dengan cara membakar dirinya dan kemudian menjadi arang itulah kemudian lewat pusarnya keluar cairan putih. Cairan putih tersebut untuk keperluan pengelasan pintu raksasa. Dan, akhirnya ia diberi hadiah emas dan uang logam seberat badannya. Akhirnya ia mengabdi di kerajaan Majapahit untuk beberapa lama. 

Banyak kesuksessan yang ia raih selama mengadi di kerajaan Majapahit tersebut yang sekaligus menjadi mantu dari Patih Muda Majapahit. Setibanya dari Sumenep ia bersama istrinya bernama Dewi Ratnadi bersua ke Keraton yang akhirnya bertemu dengan ibunya RA Potre Koneng dan kemudian dilantik menjadi Raja Sumenep dengan Gelar Pangeran Secodiningrat III. Saat menjadi raja ia terlibat pertempuran besar melawan raja dari Bali yaitu Dampo Awang, yang akhirnya dimenangkan oleh Raja Jokotole dengan kesaktiannya menghancurkan kesaktiannya Dampo Awang. Dan kemudian kekuasaannya berakhir pada tahun 1460 dan kemudian digantikan oleh Arya Wigananda putra pertama dari Jokotole.

RADEN AYU TIRTONEGORO DAN BINDARA SAOD

Raden Ayu Tirtonegoro merupakan satu-satunya pemimpin wanita dalam sejarah kerajaan Sumenep sebagai Kepala Pemerintahan yang ke 30. Menurut hikayat RA Tirtonegoro pada suatu malam bermimipi supaya Ratu kawin dengan Bindara Saod. Setelah Bindara Saod dipanggil, diceritakanlah mimpi itu. Setelah ada kata sepakat perkawinan dilaksanakan, Bindara Saod menjadi suami Ratu dengan gelar Tumenggung Tirtonegoro.

Terjadi peristiwa tragis pada masa pemerintahan Ratu Tirtonegoro. Raden Purwonegoro Patih Kerajaan Sumenep waktu mencintai Ratu Tirtonegoro, sehingga sangat membenci Bindara Saod, bahkan merencanakan membunuhnya. Raden Purwonegoro datang ke keraton lalu mengayunkan pedang namun tidak mengenai sasaran dan pedang tertancap dalam ke tiang pendopo. Malah sebaliknya Raden Purwonegoro tewas di tangan Manteri Sawunggaling dan Kyai Sanggatarona. Seperti diketahui bahwa Ratu Tirtonegoro dan Purwonegoro sama-sama keturunan Tumenggung Yudonegoro Raja Sumenep ke 23. Akibatnya keluarga kerajaan Sumenep menjadi dua golongan yang berpihak pada Ratu Tirtonegoro diperbolehkan tetap tinggal di Sumenep dan diwajibkan merubah gelarnya dengan sebutan Kyai serta berjanji untuk tidak akan menentang Bindara Saod sampai tujuh turunan. Sedang golongan yang tidak setuju pada ketentuan tersebut dianjurkan meninggalkan kerajaan Sumenep dan kembali ke Pamekasan, Sampang atau Bangkalan.

PANEMBAHAN SOMALA

Bandara Saod dengan isterinya yang pertama di Batu Ampar mempunyai 2 orang anak. Pada saat kedua anak Bindara Saod itu datang ke keraton memenuhi panggilan Ratu Tirtonegoro, anak yang kedua yang bernama Somala terlebih dahulu dalam menyungkem kepada Ratu sedangkan kakaknya mendahulukan menyungkem kepada ayahnya (Bindara Saod). Saat itu pula keluar wasiat Sang Ratu yang dicatat oleh sektretaris kerajaan. Isi wasiat menyatakan bahwa di kelak kemudian hari apabila Bindara Saod meninggal maka yang diperkenankan untuk mengganti menjadi Raja Sumenep adalah Somala. Setelah Bindara Saod meninggal 8 hari kemudian Ratu Tirtonegoro ikut meninggal tahun 1762, sesuai dengan wasiat Ratu yang menjadi Raja Sumenep adalah Somala dengan gelar Panembahan Notokusumo I.

Beberapa peristiwa penting pada zaman pemerintahan Somala antara lain menyerang negeri Blambangan dan berhasil menang sehingga Blambangan dan Panarukan menjadi wilayah kekuasaan Panembangan Notokusumo I. Kemudian beliau membangun keraton Sumenep yang sekarang berfungsi sebagai Pendopo Kabupaten. Selanjutnya beliau membangun Masjid Jamik pada tahuhn 1763, Asta Tinggi (tempat pemakaman Raja-Raja Sumenep dan keluarganya) juga dibangun oleh beliau.

SULTAN ABDURRAHMAN PAKUNATANINGRAT

Sultan Abdurrachman Pakunataningrat bernama asli Notonegoro putra dari Raja Sumenep yaitu Panembahan Notokusumo I. Sultan Abdurrahman Pakunataningrat mendapat gelar Doktor Kesusastraan dari pemerintah Inggris, karena beliau pernah membantu Letnan Gubernur Jendral Raffles untuk menterjemahkan tulisan-tulisan kuno di batu kedalam bahasa Melayu. Beliau memang meguasai berbagai bahasa, seperti bahasa Sansekerta, Bahasa Kawi, dan sebagainya. Dan, juga ilmu pengetahuan dan Agama. Disamping itu pandai membuat senjata Keris. Sultan Abdurrachman Pakunataningrat dikenal sangat bijaksana dan memperhatikan rakyat Sumenep, oleh karena itu ia sangat disegani dan dijunjung tinggi oleh rakyat Sumenep sampai sekarang. 

Peristiwa Rengasdengklok 0

Peristiwa Rengasdengklok

Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana, yang konon kabarnya terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka, yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.

Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Mayor Nishimura dan Laksamana Muda Maeda

Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Tadashi Maeda dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokyo bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.

Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of power". Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.

Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Jumat, 17 Agustus 1945 Tahun Masehi, atau 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang dibacakan oleh Ir. Soekarno yang didampingi oleh Drs. Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.
Proklamasi Kemedekaan
Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.

Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI.[1] Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.

Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang (sic).
Indonesia flag raising witnesses 17 August 1945.jpg

Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.

Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.

Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.

Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.

sumber
Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi 0

Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi

Naskah  proklamasi
Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda Jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.

Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.[4]. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.

Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.

Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.