Pada umumnya orang selalu memahami bahwa teknologi itu bersifat fisik, yakni yang dapat dilihat secara inderawi. Teknologi dalam arti ini dapat diketahui melalui barang-barang, benda-benda, atau alat-alat yang berhasil dibuat oleh manusia untuk memudahkan realisasi hidupnya di dunia. Hal ini memperlihatkan tentang wujud dari karya cipta dan karya seni (Yunani techne) manusia selaku homo technicus. Dari sinilah muncul istilah “teknologi”, yang berarti ilmu yang mempelajari tentang “techne” manusia.
Tetapi pemahaman seperti itu baru memperlihatkan satu segi saja dari kandungan kata “teknologi”. Istilah teknologi sebenarnya lebih dari sekedar penciptaan barang, benda atau alat dari manusia selaku homo technicus atau homo faber. Teknologi bahkan telah menjadi suatu sistem atau struktur dalam eksistensi manusia di dalam dunia. Teknologi bukan lagi sekedar sebagai suatu hasil dari daya cipta yang ada dalam kemampuan dan keunggulan manusia, tetapi bahkan telah menjadi suatu “daya pencipta” yang berdiri di luar kemampuan manusia, yang pada gilirannya kemudian membentuk dan menciptakan suatu komunitas manusia yang lain. Awalnya teknologi dapat dipahami sebagai hasil buatan manusia, tetapi kini teknologi juga harus dipahami sebagai sesuatu yang dapat menghasilkan suatu kemanusiaan tertentu. Teknologi mampu melahirkan sejumlah cara hidup, pola hidup, dan karakter hidup dari manusia, yang dulu menciptakannya. Demikianlah teknologi tidak hadir lagi secara fisik-inderawi dalam barang atau benda atau alat, melainkan hadir dalam bentuk sebagai suatu “roh” zaman, sistem sosial dan struktur masyarakat manusia dalam suatu komunitas. Dapat dikatakan bahwa teknologi sesungguhnya adalah tema atau pokok yang universal dan global. Pemahaman atau pemaknaan teknologi tidak dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan pendekatan-pendekatan lokal tradisional sebagai yang adi-luhung, suci dan bersih, lalu memandang teknologi sebagai sesuatu yang dari luar (kebarat-baratan), kotor dan jahat, melainkan memerlukan suatu pendekatan yang melibatkan seluruh bangsa dan masyarakat manusia untuk berbicara bersama.
Pendekatan seperti inilah yang begitu penting, mengingat bahwa teknologi selain mempunyai manfaatnya bagi manusia, ia juga punya dampak-dampak yang merugikan keberadaan manusia. Baik manfaat maupun kerugian itu, bukan hanya menjadi bagian masyarakat bagaimana teknologi itu dimanfaatkan, tetapi juga dialami oleh masyarakat dimana teknologi itu dimulai (dihasilkan atau diciptakan). Jadi sesungguhnya, teknologi itu adalah tema-nya dan pokok-nya masyarakat global.
Penekanan teknologi sebagai suatu pokok secara global, sebetulnya juga mengandung makna historis. Dimana dengan terjadinya revolusi industri yang meningkatkan keterkaitan antar bangsa di dunia, berbagai teknologi ditemukan dan menjadi dasar bagi perkembangannya saat ini, seperti komputer dan internet. Pada saat itu pula, berkembang secara bersama-sama pergeseran-pergeseran teknologi secara kebudayaan. Dalam arti bahwa proses transferalisasi teknologi itu bukanlah tanpa makna dan ide-ide tertentu, seperti dikatakan oleh Arnold J. Toynbee, dalam Mangunwijaya: “Transfer teknologi akan berarti juga transfer sebuah totalitas kebudayaan satu ideologi pihak yang melahirkan teknologi itu. Sebab kalau tidak maka sinar kebudayaan yang lepas bagaikan elektron yang terlepas atau penyakit menular yang tersesat”.
Justru karena teknologi adalah sebuah transferalisasi yang penuh makna dan ide-ide tertentu, maka ia bukanlah sekedar barang atau benda atau alat-alat belaka. Maka dari itu, pemahaman terhadap teknologi, tidak bisa tidak harus membutuhkan suatu kajian tentang makna-makna, ide-ide, dan simbol-simbol yang relevan. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa teknologi sebenarnya adalah sebuah kebudayaan. Menurut Clifford Geertz, “kebudayaan adalah suatu sistem simbol yang dengannya manusia dapat memberi makna bagi kehidupannya“. Ini berarti bahwa teknologi adalah wujud nyata dari simbol-simbol kebudayaan manusia. Dimana dengan simbol teknologi ini maka manusia dapat mengembangkan kehidupannya di dalam dunia.
Dari pemahaman seperti itu, maka pendekatan terhadap teknologi juga dapat didekati secara kebudayaan. Tetapi dalam pendekatan secara kebudayaan perlu diwaspadai. Pada umumnya orang akan berpendapat bahwa jika berbicara tentang kebudayaan, maka berarti ada kebudayaan ‘asli’ dan kebudayaan ‘asing’. Pemahaman seperti ini tidaklah tepat, sebab yang menghidupi suatu tradisi atau kebudayaan adalah manusia, dan manusia yang menghidupi suatu kebudayaan adalah manusia yang mempunyai hakekat sebagai makhluk sosial dan selalu berhubungan dengan orang-orang lain dalam suatu realitas dan kebudayaan yang berbeda dengannya. Dalam hakekat seperti ini maka mustahil untuk berbicara tentang adanya budaya ‘asli’ dan budaya ‘asing’. Yang tepat adalah membicarakan bahwa yang terjadi dalam percakapan kebudayaan adalah “perjumpaan” kebudayaan. Dimana dalam perjumpaan itu, baik budaya sendiri (bukan yang asli) atau budaya orang lain (bukan yang asing) sama-sama aktif dan proaktif dalam rangka saling membentuk dan saling mempengaruhi. Dalam perjumpaan itu tidak akan ada yang hilang atau musnah, malahan dibaharui secara baru. Dengan pemahaman seperti ini, pendekatan terhadap teknologi di Indonesia dapat dikerjakan dengan beberapa pendekatan sebagai berikut:
- Tekknologi bukanlah masalah kapitalisme atau sosialisme atau pancasialisme, melainkan adalah masalah globalisme.Teknologi tidak harus dipahami sebagai semacam perjuangan dan imperialisme kaum kapitalis terhadap sejumlah ideologi yang ada, melainkan harus dipahami sebagai suatu pokok atau tema globalisasi. Apalagi jika telah terhubung dengan Ilmu pengetahuan, Industri dan Bisnis (ITIB), maka ia akan mempunyai suatu wujud wajah yang konkrit. Dimana ITIB mempunyai proses dan perangai yang faktual sama, entah diolah di Amerika atau Eropa, Jepang, bahkan Cina. Sebab walaupun sistem komunis bertolak belakang dengan sistem kapitalis, tetapi hal tersebut hanya dalam sistem politik saja. Walapun ideologi kapitalis dan komunis diketahui saling bertentangan, tetapi tidak boleh dilupakan bahwa cara-cara membuat mesin diesel, menjahit pakaian massal serta penyediaan energi dalam proses dasarnya adalah sama, baik di Amerika ataupun di Cina. Jip Will’s maupun Gaz dipakai juga oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang katanya adalah Pancasila.
- Teknologi bukanlah asosiasi Barat-Timur atau negara maju dan negara berkembang (belum maju), melainkan adalah konkritisasi dari perwujudan cara berada manusia mulai dari Timur sampai ke Barat, Utara ke Selatan, yang didalamnya terdapat sejumlah masyarakat yang dikatakan sudah maju maupun yang sedang berkembang (belum maju) atau yang tradisional maupun yang modern. Artinya kalau teknologi dipahami sebagai wujud dari manusia selaku homo technicus atau homo faber dan maupun sebagai suatu sistem dan struktur dalam suatu komunitas manusia, maka hal itu juga adalah kondisi dan realitas manusia di seluruh dunia dari dahulu sampai sekarang? Bukankah sebuah gerobak sapi di sebuah desa di Halmahera dengan sebuah mobil di Jakarta milik seorang pengusaha akan mempunyai fungsi dan manfaat yang terkondisikan menurut realitas dan kebutuhan serta cara memanfaatkanya? Sebagai hasil dari teknologi manusia?
- Teknologi harus ditanggapi dengan sikap yang kritis.Menurut Mangunwijaya ‘kita tidak perlu benci pada ITIB, tetapi juga adalah tolol sekali bila ITIB sampai kita anggap selaku Dewi Sri terpuja masa kini”. Hal ini menunjukkan bahwa dalam menghadapi realitas teknologi, kita perlu membangun atau memerlukan suatu sikap yang kritis. Pertanyaannya adalah kritis terhadap apa? Dan bagaimana menjadi kritis? Untuk pertanyan ini ada beberapa langkah yang dapat dikerjakan antara lain:
- Aktif, Artinya dengan sikap yang gamblang, paham perkaranya dan tahu apa yang harus diperbuat, bertanggung jawab baik terhadap diri sendiri maupun juga kepada generasi yang akan datang. Hal ini dimaksudkan sebagai suatu perumusan sikap dan strategi politik teknologi yang arif. Hal mana sangat berdampak pada suatu technostructure (struktur teknologi) yang berperangai sebagai kekuasaan, terutama melalui MNC (Multi National Corporation). Tetapi hal ini bukan hanya menjadi tugas dari negara-negara yang sedang berkembang saja, melainkan menjadi tugas seluruh bangsa di dunia ini dalam proses Kultur und Zivilisation. Hal ini akan ditunjang pula oleh kecenderungan dalam masyarakat post-modernis, pasca-industrial yang memberi fokus terhadap segi-segi non-teknis.
- Melihat teknologi sebagai sesuatu yang tidak netral.Teknologi tidak hanya mempunyai dampak positif melainkan juga negatif. Ia tidak statis dan tanpa pengaruh, melainkan juga dapat menjadi suatu “kuasa” yang sulit dikendalikan. Apalagi jika dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan dan upaya mencari keuntungan belaka. Karena itu, maka hal yang perlu dilakukan adalah mengembangkan konsep teknologi yang sepadan, seperti yang diusulkan oleh Isao Fujimoto, dalam Mangunwijaya, yaitu dengan melakukan empat prinsip yang penting, antara lain: Teknologi berdasarkan upaya swadaya dan tidak tergantung pada para ahli, desentralisasi, kerja sama dan bukan persaingan, sadar akan tanggung jawab sosial dan ekologis.
- Tanggung jawab moral dan etika.Hal ini dimaksud untuk menanggapi seluruh dampak teknologi yang merugikan, bahkan semua orang terutama para sarjana dipanggil untuk hal ini berdasarkan akar-akar religiositas manusia sendiri, yang dalam iklim teknologi seolah-olah telah hilang ditelan oleh sekularisme dan rasionalisme. Pertanyaannya adalah dari segi apa hal ini dapat dikembangkan? Tiada lain adalah melalui segi budaya berdasarkan proses kontekstualisasi. Terutama dengan memberi penghargaan kepada orang-orang atau wadah-wadah gerakan yang sadar akan adanya bahaya teknologi dan berupaya untuk menciptakan suatu masyarakat yang mencita-citakan suatu paham convivial menurut konteksnya masing-masing.
- Menciptakan iklim yang relevan manusiawi dengan pemahaman yang tepat tentang ilmu pengetahuan dan teknologi.Dalam arti bahwa pemanfaatan sejumlah teknologi haruslah menjamin suatu kelangsungan kehidupan. Teknologi dengan segala keunggulannya bukan dipakai demi pengrusakan dan eksploitasi seluruh alam, melainkan untuk suatu pengolahan yang berkelanjutan.
Selain itu teknologi adalah satu ciri yang mendefinisikan hakikat manusia yaitu bagian dari sejarahnya meliputi keseluruhan sejarah. Teknologi, menurut Djoyohadikusumo (1994, 222) berkaitan erat dengan sains (science) dan perekayasaan (engineering). Dengan kata lain, teknologi mengandung dua dimensi, yaitu science dan engineering yang saling berkaitan satu sama lainnya. Sains mengacu pada pemahaman tentang dunia nyata sekitar, artinya mengenai ciri-ciri dasar pada dimensi ruang, tentang materi dan energi dalam interaksi satu terhadap lain. Dari perspektif sejarah, seperti digambarkan oleh Toynbee (2004, 35) teknologi merupakan salah satu ciri khusus kemuliaan manusia bahwa dirinya tidak hidup dengan makanan semata. Teknologi merupakan cahaya yang menerangi sebagian sisi non material kehidupan manusia. Teknologi, lanjut Toynbee (2004, 34) merupakan syarat yang memungkinkan konstituen-konstituen non material kehidupan manusia, yaitu perasaan dan pikiran , institusi, ide dan idealnya. Teknologi adalah sebuah manifestasi langsung dari bukti kecerdasan manusia.
Dari pandangan semacam itu, kemudian teknologi berkembang lebih jauh dari yang dipahami sebagai susunan pengetahuan untuk mencapai tujuan praktis atau sebagai sesuatu yang dibuat atau diimplementasikan serta metode untuk membuat atau mengimplementasikannya. Dua pengertian di atas telah digantikan oleh interpretasi teknologi sebagai pengendali lingkungan seperti kekuasaan politik di mana kebangkitan teknologi Barat telah menaklukkan dunia dan sekarang telah digunakan di era dunia baru yang lebih ganas.
DAFTAR PUSTAKA
- Ali, Abdullah dkk. 2006. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.
- Gregory, Andrew. 2002. EUREKA! The Birth of Science (terjemahan). Yogyakarta: Jendela Press..
- Poedjiadi, Anna. 2005. Sains Teknologi Masyarakat. Bandung: Rosda Karya.
- Rakhmat, Jalaludin. 2000. Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar?. Bandung: Rosdakarya.