Apakah yang dimaksud dengan mendirikan sholat ? Mendirikan sholat ialah melaksanakannya dengan sebaik-baiknya yakni mengerjakan sembahyang yang dengan mewujudkan ruh dan hakikatnya dalam rupa yang lahir, serta mewujudkan kesan bekasnya dalam penghidupan yang nyata.
Tidak dapat diragukan barang sedikit pun, bahwa shalat itu adalah hubungan yang sangat kokoh antara hamba dengan Allah. Oleh karena itulah Al-Qur’an memperhatikan urusan shalat ini dan menegaskan kefardhuannya berbagai cara. Terkadang tegas-tegas Al-Qur’an menyatakan bahwa sembahyang itu wajib dilaksanakan tidak boleh diabaikan. Seperti yang disebutkan dengan tegas dalam al-Qur'an:
وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ * سورة البقرة 43
"Dan dirikanlah sholat, dan bayarlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk".
Keterangan Ayat ini menjelaskan tentang kewajiban sholat dan zakat, serta sholat berjamaah secara umum. Terkadang-kadang pula Al-Qur’an memberikan pujiannya kepada mereka yang melaksankan sembahyang dan terkdang-kadang lagi Al-Qur’an melepaskan kritik yang tajam dan pencelaan yang keras terhadap para peninggal sholat.
Allah telah memerintahkan dalam Al-Qur'an agar kita mendirikan shalat yang disebutkan dalam banyak ayat, diantaranya:
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa:103).
Shalat merupakan salah satu rukun Islam dan disebutkan sebagai tiangnya agama. Setiap tiang, biasanya berfungsi sebagai penopang untuk bediri-tegaknya sesuatu yang disangganya, seperti halnya tiang dalam sebuah bangunan. Jika tiang rumah sudah rapuh atau bahkan tidak lagi dapat menopang pilar-pilarnya maka akan robohlah rumah tersebut. Oleh karena itu, tiang dalam sebuah bangunan menjadi sesuatu yang begitu penting, sebab ia berfungsi selain sebagai kerangka bangunan, juga berfungsi untuk menyangga berbagai komponen yang terdapat pada bangunan itu.
Lalu bagaimana dengan shalat, sebegitu pentingkah shalat bagi kita selaku Muslim, sampai disebut sebagai “tiangnya agama dan kunci segala kebaikan? Bahkan pada salah satu haditsnya, Rasulullah Saw bersabda: “Puncak segala perintah adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncak kemuliaanya adalah jihad di jalan Allah”. Di Hadist lain juga menyebutkan tentang begitu pentingnya shalat:
عَنْ جَدِّدِ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَّلاَةِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِينَ وَإِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِينَ فَاضْرِبُوهُ عَلَيْهَا* رواه أبو داود كتاب الصلاة
Dari Jaddid, ia berkata: Bersabda Nabi SAW: “Perintahlah kalian pada anak kecil dengan sholat ketika telah berumur 7 tahun. Dan ketika telah berumur 10 tahun maka memukullah pada anak karena meninggalkan sholat”
Keterangan ini juga Nabi memerintahkan kepada umat muslim agar membiasakan anak mereka untuk mengerjakan sholat 5 waktu ketika sejak berumur 7 tahun. Dan jika setelah sampai umur 10 tahun anak tersebut belum mau juga untuk mengerjakan sholat 5 waktu, maka orang tua agar mengingatkan anak dengan cara memberi pukulan yang mendidik, bukan dengan pukulan-pukulan keras yang malah membuat anak trauma.
Dari hadits ini dapat kita lihat bagaimana wajibnya mengerjakan sholat 5 waktu. Bahkan anak umur 10 tahun (yang biasanya belum baligh) sudah diperintahkan untuk dipukul jika meninggalkan sholat.
Jika memang begitu, adakah manfaat shalat bagi yang melaksanakannya? Pertanyaan seperti itu, bisa jadi merupakan pertanyaan yang biasa muncul pada orang-orang yang belum merasakan dan masih meragukan manfaat shalat. Bahkan tidak menutup kemungkinan, muncul juga pada setiap orang yang selama ini sudah biasa melakukan shalat, akan tetapi tidak punya keberanian untuk menyatakannya dan mempertanyakannya. Tentu terdapat banyak alasan yang menyebabkan seseorang tidak berani untuk menyatakan dan mempertanyakannya. Bisa disebabkan oleh rasa takutnya, disebabkan oleh ketawaduannya, atau bisa jadi disebabkan oleh ketidaktahuannya.
Baiklah, tanpa harus memperpanjang daftar alasan ketidakberanian mereka untuk mempertanyakan manfaat shalat bagi diri masing-masing, tampaknya akan lebih bermanfaat dan lebih bijak jika kita kembali pada diri kita masing-masing, karena setiap orang akan memiliki alasan masing-masing. Mari kita bertanya pada diri masing-masing. Penahkah Anda mempertanyakan, “Bermanfaatkah shalat bagi saya jika saya mengerjakannya?” atau “Apa sih manfaat shalat itu?”
Pernahkah pertanyaan yang mengelitik seperti terbersit dalam pikiran Anda? Pernahkah Anda mencoba untuk mencari jawabannya? Adakah kesamaan antara Anda dengan berjuta orang yang mencoba mempertanyakannya? Kemudian, pada akhirnya Anda pun tidak punya keberanian untuk menyatakan dan mempertanyakannya?
Jika Anda, termasuk salah satu di antara orang yang masih bertanya manfaat shalat bagi yang mengerjakannya, itu jauh lebih baik dibanding orang yang tidak pernah mempertanyakannya, tetapi tidak tahu jawabannya. Dengan bertanya, kita akan mengetahui sesuatu, sebab kita akan berusaha untuk mendapatkan jawabannya. Setidaknya, jika kita belum juga mendapatkan jawaban atas persoalan yang dipertanyakan maka “kita tahu bahwa kita tidak tahu” tentang persoalan tersebut. Dengan begitu mudah-mudahan dapat menumbuhkan kesadaran akan keterbatasan diri dan menghilangkan rasa tinggi hati yang akan membawa kesombongan diri.
“Adakah manfaat shalat bagi yang melaksanakannya?” Tentu banyak alasan. Satu di antara alasannya adalah bahwa shalat akan bermanfaat jika yang melaksanakannya tahu betul apa hakikat shalat, menyadari betul mengapa dan untuk apa dia shalat shalat. Artinya, bisa jadi sholat juga tidak akan bermanfaat jika yang melaksanakannya tidak tahu atau tidak mau tahu mengapa dia shalat dan untuk apa dia shalat. Lebih dari itu, shalat tidak akan bermanfaat jika seseorang tidak tahu “apa sesungguhnya shalat”?
Dengan begitu bisa kita katakan, bahwa manfaat “sesuatu” (misalnya shalat) hanya akan diketahui oleh orang yang memahami “sesuatu” (makna hakiki shalat) itu. Contoh, apakah tumbuh-tumbuhan di sekitar kita bermanfaat bagi kehidupan kita? Tentu yang mengetahui manfaat tumbuh-tumbuhan bagi kelangsung hidup manusia adalah orang-orang memahami hakikat dan fungsi tumbuh-tumbuhan, sebab bagi orang-orang yang tidak memahaminya akan beranggapan bahwa tumbuhan yang terdapat disekitarnya tidak ada kaitannya dengan kelangsungan hidup manusia, karena yang mereka tahu manfaat dari tumbuh-tumbuhan hanya untuk dimanfaatkan buahnya atau digunakan sebagai kayu bakar.
Begitu juga dengan shalat. Bagi mereka yang tidak memahaminya maka tidak akan mengetahui manfaatnya, dan mereka hanya akan menganggap bahwa melaksanakan shalat adalah suatu kewajiban belaka. Shalat tidak akan dianggap sebagai sesuatu yang dibutuhkan, karena memang tidak memahami pentingnya shalat. Sebab orang yang tidak memahami pentingnya “sesuatu” bagi dirinya maka dia tidak akan membutuhkan “sesuatu”.
Shalat merupakan sesuatu yang dibutuhkan dan begitu penting bagi umat Islam. Bahkan karena begitu pentingnya, maka kewajiban shalat terhadap umat Islam (muslim) diberikan secara langsung oleh Allah SWT kepada Nabi SAW pada peristiwa Isra' dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha, kemudian ber-Mi’raj menghadap Allah SWT untuk menerima perintah shalat. Itulah sebabnya, “shalat disebut juga sebagai mi’raj-nya orang-orang beriman”.
Mari kita lihat dulu dari proses turunnya perintah shalat sebelum kita mencoba menjawab “penting atau tidaknya shalat bagi Islam dan muslim”. Jika kita perhatikan proses turunnya perintah shalat, kita menemukan proses yang berbeda dibandingkan dengan perintah-perintah lainnya. Perintah shalat berbeda dengan rukun Islam lainnya. Misalnya, mengucapkan syahadat sebagai deklarasi masuknya seseorang menjadi muslim cukup hanya satu kali untuk seumur hidup. Melakukan puasa masih ada keringanan tidak menjadi dosa jika tidak mengerjakannya bagi orang sedang sakit atau sedang dalam perjalanan. Zakat tidak wajib bagi mereka yang tidak berkecukupan. Ibadah haji tidak wajib bagi orang yang tidak mampu menunaikannya, bahkan Allah menghapuskan kewajibannya. Artinya, Allah telah memberikan keringanan untuk mengerjakan rukun Islam lainnya, akan tetapi tidak untuk “shalat”, Allah tetap mewajibkannya selama seseorang masih beriman. Seorang yang beriman, siapapun dia, kapanpun, dimanapun dan dalam kondisi apapun dia mesti mengerjakan shalat. Tidak semata-mata Allah memerintahkan untuk terus dikerjakan jika tidak terdapat sesuatu yang begitu penting dalam pelaksanaan shalat.
Begitu pentingnya, maka kewajiban shalat langsung ditujukan kepada Rasulullah SAW untuk datang kehadapan-Nya, berbeda dengan perintah atas rukun Islam lainnya, yaitu hanya berdasarkan wahyu, karena sesuatu yang sangat penting nilainya, biasanya diberikan secara langsung oleh pemiliknya kepada pihak yang akan menerimanya, agar tidak terjadi persoalan yang tidak diharapkan dan bisa dipastikan bahwa “sesuatu yang bernilai itu” diterima oleh pihak yang berhak menerimanya.
Di sisi lain, mengingat begitu pentingnya sholat maka pesan terakhir Nabi SAW sebelum mengehembuskan napas terakhirnya, satu di antara pesan beliau adalah sholat, selain itu menitipkan hamba sahaya (budak) yang tidak berdaya, karena kebebasan seorang budak dibatasi oleh majikannya. Artinya, kedua hal tadi, oleh Nabi dititipkan agar setiap pribadi muslim memperhatikan shalat dan orang-orang yang tidak berdaya, seperti: budak belian, pakir miskin, yatim piatu dan sebagainya.
Kemudian, jika memang shalat itu memiliki nilai yang begitu penting, begitu berharga, juga begitu mulia di sisi Allah. Kemuliaan dan keagungan apa yang terkandung serta tersimpan di dalam shalat itu? Tentu banyak jawaban yang bisa disampaikan kehadapan Anda, sebanyak persepsi dan harapan akan pentingnya nilai shalat itu sendiri. Lebih dari itu, nilai penting shalat bagi umat Islam adalah karena shalat merupakan hamparan cinta dan kasih sayang Allah yang mengalir mengisi ruang-ruang kebutuhan umat manusia.
Kemudian, jika memang begitu berharganya dan begitu penting shalat bagi umat Islam, mengapa masih juga ada orang yang berkata, “Buat apa shalat, toh banyak juga orang yang suka shalat tapi suka bohong, suka korupsi, suka enggak bener kelakuannya”. Bahkan ada juga yang berkata “Buat apa shalat, jika hidupnya belum juga bener”. Sepintas mungkin benar ungkapan-ungkapan itu, tetapi mari kita telisik ungkapan-ungkapan itu secara jernih.
Apabila memang betul, ada orang yang suka melakukan shalat tetapi dalam kehidupannya masih juga suka berbuat tidak benar, tentu jangan dulu menyalahkan shalatnya. Seperti halnya, “jika kepala Anda masih juga berketombe padahal Anda suka atau sering berkeramas”. Apakah Anda akan langsung mengatakan “ada yang salah pada kepala Anda”? Apakah Anda akan memotong kepalanya agar tidak berketombe lagi?
Sekalipun benar jika kepalanya dipotong maka tidak akan berketombe lagi, tetapi langkah itu bukan langkah terbaik untuk menghilangkan ketombe. Kemudian jika masih juga berketombe padahal Anda suka berkeramas, lebih baik mencari penyebabnya “mengapa masih juga berketombe”, jangan dulu mengatakan ada yang salah pada kepala Anda. Sebab bisa jadi salah dalam memilih shamponya sehingga tidak sesuai dengan jenis kulit kepala Anda. Jadi, sekalipun suka berkeramas kepalanya masih juga berketombe. Ingat ! Jangan dulu memotong kepalanya, tapi pilihlah formula shampo yang cocok dengan jenis kulit kepala anda.
Begitu juga dengan shalat. Apabila masih ada orang yang suka shalat tapi masih juga suka berbuat tidak benar maka jangan katakan “buat apa shalat”, akan tetapi cari dulu penyebabnya, mengapa dia masih juga suka berbuat tidak bener padahal suka shalat. Sebab sejatinya orang yang suka shalat itu akan selalu disipilin pada aturan, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang dianjurkan dan mana yang dilarang, dan dia akan disiplin menjaga perilaku dalam kehidupannya sehari-hari.
Saya yakin bahwa Anda pun tahu, banyak faktor yang menyebabkan seseorang suka melakukan perbuatan yang “tidak benar”. Salah satu faktornya, khususnya pada mereka yang suka melakukan shalat adalah sangat mungkin bahwa dia melalaikan makna shalat yang selalu dilakukanya, sehingga shalatnya tidak berdampak pada setiap sudut kehidupanya. Bahkan, sangat mungkin bahwa dia tidak tahu “hakikat shalat”, sekalipun dia selalu melaksanakannya.