Apa itu Hadits Masyhur..?
لغة هو اسم مفعول من - شهرت الامر
اصطلاحا ما رواه ثلاثة فاكثر في كل طبقة مالم يبلغ حد التواتر
Masyhur menurut bahasa adalah “nampak”. Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai batas mutawatir. Contohnya, sebuah hadits yang berbunyi (artinya) :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba. Akan tetapi akan melepaskan ilmu dengan mengambil para ulama. Sehingga apabila sudah tidak terdapat seorang yang alim, maka orang yang bodoh akan dijadikan sebagai pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan” (HR. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi).
Hukum Hadits Masyhur
Sering muncul bahwa anggapan hadits masyhur itu senantiasa shahih,karena sering kali seorang peneliti dengan pandangan sepintas dapat terkecoh oleh berbilangnya rawi,yang mengesankan kekuatan dan keshahihan sanad. Akan tetapi para muhaddits tidak perduli dengan berbilangnya sanad apabila tidak disertaia sifat-sifat yang menjadikan sanad-sanad itu shahih atau saling memperkuat sehingga dapat dicapai hujjah. Dengan demikian hadits masyhur dari segi diterima dan ditolaknya dapat dibagi menjadi 3, yaitu shahih, hasan, dan dhaif.
Contoh hadits masyhur yang shahih adalah:
” bila salah seorang diantara kamu hendak mendatangi salat jum’at maka hendaklah ia mandi”
Hadits ini diriwayatkan dari nabi melalui banyak sanad
Hadits ini diriwayatkan dari nabi melalui banyak sanad yang dapat menempatkannya pada derajat hasan atau sahih. Hadits ini dinilai hasan oleh al-Nawawi dalam kitab al- Arba’iin.
Contoh hadits masyhur yang dhaif adalah hadits;
Hadits ini diriwayatkan melalui banyak sanad dari anas dan abu khoroiroh, namun semua sanadnya tidak terbebas dari rawi yang cacat (majruh) dalam pencacatan yang cukup serius. Oleh karena itu hadits diatas merupakan hadits masyhur yang dhaif”carilah ilmu walau kenegeri Cina”
Pembagian Hadits Masyhur Berdasarkan Tempat Kemasyhurannya
Hadits masyhur ditinjau dari segi lingkungannya tersiar dan tersebarnya hadits masyhur dibagi menjadi banyak bagian. Sebab kadang-kadang suatu hadits dikatakan masyhur dikalangan ahli hadits dan ulama lain serta orang umum dan kadang-kadang suatu hadits juga dikatakan masyhur pada pembicaraan banyak orang, meskipun hadits tersebut hanya diriwayatkan melalui sanad, bahkan kadang-kadang tidak bersanad sama sekali.
Beberapa contoh hadits masyhur menurut para pembagian diatas:
Hadits masyhur dikalangan ahli hadits saja. Seperti hadits Anas:
حديث انس ان رسولالله صلى الله عليه وسلم" قنت شهرابعدالركوع يدعو على رعل وذكوان
Contoh lain yang artinya
“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan qunut selama satu bulan setelah berdiri dari ruku’ berdoa untuk (kebinasaan) Ra’l dan Dzakwan” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan muslim dari sulaiman al-Taimi dari abu mijlaz dari anas oleh selain abu mijlaz, dari abu mijlaz oleh selain sulaiman oleh jama’ah. Jadi hadits ini masyhur dikalangan ahli hadits. Adapula ahli hadits lain yang menilai gharib terhadap hadits ini, karena pada umumnya riwayatnya melalui al- Taimi dari anas tanpa perantara.
Hadits masyhur dikalangan muhadditsin dan ulama lain serta masyarakat umum, seperti hadits
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده
Hadist Masyhur dikalangan fuqaha: seperti hadits
ابغض الحلال الى الله الطلاق
“Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talaq” (HR. Al-Hakim; namun hadits ini adalah dla’if).
Hadits Masyhur dikalangan ahli usul fiqh
Seperti Hadits:
رفع عن امتي الخطاء والنسيان وما استكرهوا عليه - صححه ابن حبان والحاكمز
Hadits masyhur di kalangan ulama ahli bahasa arab. Seperti Hadits:
نعم العبد صهيب لولم يخف الله لم يعصمه - لااصل له
” sebaik-baiknya hamba adalah shuaib yang seandainya ia tidak takut kepada Allah (pun) ia tidak maksiat kepada-Nya.
hadits masyhur dikalangan umum.seperti hadits:
العجلة من الشيطان - اخرجه التر مذي وحسنه
Permasalahan Hadits Masyhur
Demikianlah penjelasan kami tentang macam-macam dan derajat hadits masyhur, baik yang diterima atau yang ditolak. Penjelasan tersebut menunjukkan kepada kita akan kesalahan anggapan para orientalis bahwa para ulama mengupayakan peyebaranhadits masyhur itu bditengah-tengah masyarakat untuk mereka terima.
Borch menyimpulkan pernyataan Goldziher sebagai berikut : ”orang-orang mukmin yang taat dan bertaqwa telah menerima dan membenarkan dengan mudah tanpa koreksi terhadap segala sesuatu yang datang kepada mereka dalam bentuk hadits. Semuanya mereka meyakini sebagai ucapan Nabi saw. Secara hakiki.Adapun hal-hal yang mengancam kesahihan banyak bagian dari ucapan-ucapan yang diriwayatkan terus menerus itu dapat dengan mudah mereka jinakkan. Telah jelas bahwa para ahli agama sendiri senantiasa menggunakan kajian ijma’ sebagai suatu pegangan dalam menetapkan kesahihan dan kredibilitas hadits. Jelas-jelas mereka mengakui bahwa ijma’ umat merupakan tolak ukur tertinggi untuk mengetahui kesahihan suatu hadits”
Selanjutnya ia menambahkan ” Akan tetapi para muhadditsin tidak puas membiarkan diri mereka terbawa oleh sistem penilain sebagai langkah antisipasi terhadap sistem yang mengancam keluhuran umat islam dan untuk menyelamatkan banyak hadits yang ternodai sistem tersebut, mereka menetapkan syarat-syarat lain di samping kesepakatan umat untuk menerima kredibilitas dan kesahihan hadits”.
Penyataan ini dikemukakan dengan kata pembuka yang salah dan berdampak salah pula pada kesimpulan yang di tuju. Oleh karena itu pernyataan di atas telah menyimpang dari garis kebenaran dan mengarah kepada jurang-jurang kesesatan. Diantara kesalahan tersebut adalah sebagai berikut:
- Ia menafsirkan ijma’ sebagai kesepakatan seluruh umat Islam. Hal ini tersirat dalam kata-kata ” orang-orang mukmin” dan ”kesepakatan untuk menerima kredibilitas hadits”. Penafsiran ijma’ yang demikian menyalahi kaidah ajaran islam yang sangat mendasar dan tidak samar lagi bagi setiap pencari imu serta orang yang memperhatikan ajaran dan kebudayaan Islam, sebab sesungguhnya tidak samar lagi bahwa ijma’ yang dapat dijadikan hujjah menurut umat islam adalah ijma’ para imam mujtahid sebagai hasil penggalian hukum dari dalil syara’. Dan telah dimaklumi pula bahwa ahli ijma’ itu tidak boleh mengesampingkan dalil-dalil syara’.
- Para ulama sama sekali tidak pernah mengupayakan agar masyarakat umum menerima suatu hadits, bahkan mereka seluruhnya senantiasa mengkaji dengan penuh kehati-hatian terhadap riwayat-riwayat yang beredar ditengah-tengah masyarakat. Imam muslim menjelaskan dalam muqaddimah shahih-nya bahwa yang menjadi motivasi penyusunan kitab shahihnya adalah karena ia melihat hadits-hadits dhaif dan rusak beredar dengan leluasa ditengah-tengah umat Islam.
- Para muhadditsin mengadakan penngkajian khusus terhadap hadits yang beredar dimasyarakat dalam bentuknya yang khusus, yakni hadits masyhur. Mereka meneliti hadits-hadits yang masyhur dikalangan masyarakat umum untuk kemudian mereka jelaskan bahwa hadits-hadits yang beredar itu tidak mempunyai kualitas yang sama. Kemudian hadits-hadits itu mereka himpun dalam sejumlah kitab yang dilengkapi penjelasan tentang derajat masing-masing hadits, baik shahih, hasan, dhaif, maupun yang mukhtalifnya.
- Seandainya kata-kata ” kajian ijma’” itu kita artikan sebagai ijma’ ulama terbatas dari kalangan para tokoh muhadditsin, maka apakah pengungkapan yang demikian dalam forum ilmiah dapat dianggap sebagai metode penyajian yang dapat dipahami dan kritis, sebagaimana yang ia duga, ataukah metode ini merupakan suatu puncak pembahasan yang akurat? Bila memang demikian, kini kita juga mendapatkan seorang ilmuwan yang penelitiannya dapat dijadikan hujjah. Ia merupakan seorang ulama spesialis dalam bidangnya, serta menjadi buah harapan umat.