Suatu hari di SMA Darun Najwa terlihat seorang anak laki-laki yang bernama Fadil Arizi yang biasa dipanggil Fadil. Dia seorang anak yang ditinggal mati ayah dan ibunya sejak berumur tujuh tahun. Kemalangannya menjadikan dia seorang anak yang sabar dan pekerja keras. Demi kelangsungan hidup dia dan neneknya, mengharuskannya bekerja tanpa putus asa, walaupun hanya mengandalkan satu kaki kanannya. Sebab kaki kirinya tak terbentuk sejak kelahirannya. Dari dulu yang menjadi temannya untuk berjalan adalah kursi roda peninggalan orang tuanya. Setiap hari bersama kursi rodanya dia berjualan gorengan setelah sepulang sekolah.
“Gorengan,
gorengan, gorengan….” dengan keringat yang membasahi bajunya, Fadil berkeliling
menjajahi gorengan.
“Ibu,
mbak… gorenganya masih hangat, silakan dibeli…” kata Fadil sambil menawarkan
gorengan pada kerumunan perempuan di pinggir jalan.
“Iya
dek, saya beli sepuluh ya dek, nih uangnya” kata seorang ibu sambil memberikan
satu lembar sepuluh ribuan.
“Ini
ibu gorengannya, terimakasih ya bu” dengan mata penuh syukur Fadil menyerahkan
gorengan pada ibu itu.
Sepulang
menjual gorengan Fadil kelelahan memasuki rumahnya mungilnya. Dengan wajah
pucatnya dia menghampiri neneknya yang sedang berbaring karena sakit.
“Nek,
alhamdulillah hari ini gorenganku habis, Allah melancarkan rezeki padaku untuk
pengobatan nenek, terimakasih ya Allah…” seru Fadil sambil menggenggam tangan
keriput neneknya.
Keesokan
harinya di Sekolah, Fadil mengobrol dengan teman sekelasnya, namanya Dani. Dani
adalah satu-satunya teman sekelasnya yang selalu membela Fadil ketika di ejek
dengan temannya yang lain. Mungkin karena dari lingkungan yang sama atau hanya
karena sama-sama penjual gorengan, Dani selalu berusaha membantu Fadil ketika
dalam kesulitan.
“Fadil,
gimana kemarin gorengannya laku?” tanya Dani.
“Iya
Dan, Alhamdulillah kemarin gorenganku laku semua. Em.. kalau kamu gimana Dan?” tanya
Fadil.
“Nggak
laku semua sih Dil, masih ada sisanya sedikit, padahal sampai malam loh aku
jualan, hah… kesal aku” seru Dani sambil memijit pelipisnya yang terasa sakit.
“Gimana
ya Dil caranya jadi penyabar seperti kamu? Ya aku pernah mencoba sabar tapi lama-kelamaan aku gak sanggup sendiri,
benar kata orang sabar itu pasti ada batasnya” kata Dani dengan nada kesal.
“Gak
boleh gitu lah, memang sulit pada awalnya tapi tetap berusaha karena Allah
selalu bersama orang-orang yang sabar” kata Fadil sambil merangkul Dani
“Tapi
gimana caranya?”
“Setiap
saat berusaha tenang dan selalu berzikir pada Allah…” sebelum Dani protes,
Fadil kembali melanjutkan sarannya.
“Memang
sulit, tidak semua orang bisa melakukannya tapi tetaplah berusaha bersyukur
pada apapun yang Allah berikan, entah itu kesehatan, rezeki atau apapun itu” dengan
nada setenang mungkin Fadil menjelaskan panjang lebar.
Setelah
dahi Dani berkerut samar, pikiran kusutnya mulai lurus.
“Yach…
aku akan berusaha semampuku dan akan selalu berdoa walaupun gorenganku tidak
laku semua, aku akan tetap bersyukur” Dani mengepalkan semangat dengan
tangannya.
Tak
terasa waktu berjalan begitu cepat. Terik matahari mulai terasa panas di atas
kepala. Setelah sepulang sekolah Fadil dan Dani kembali berkeliling gang untuk
berjualan gorengannya. Dan percakapan mereka kembali berlanjut.
“Enak
ya Dil jadi kamu, walau orang tak punya tapi hidup kamu terlihat damai, kamu
pintar dan di sukai guru-guru karena kesopanan kamu” Dani mulai menyanjung
Fadil.
“Terlihat
begitu ya?”
“Iya…
memangnya kamu tidak merasa?” Tanya Dani penasaran karena wajah Fadil terlihat
datar-datar saja.
“Yach…
aku bersyukur hidupku sampai sekarang nyaman meskipun kadang sedih mengingat
nenek sudah semakin tua, sebenarnya Dani ada satu keinginanku yang belum bisa
ku wujudkan dan mungkin sulit untuk menjadi
nyata”
jelas Fadil terbata-bata.
“Oh
ya apa itu, boleh aku tahu?”
“Aku
ingin menjadi atletic” jawab Fadil berhasil mengejutkan Dani.
“Hah…
atletic? Dengan satu…. Ah.. maaf, maaf lupakan…” Dani dibuatnya linglung.
“Kamu
tahu sendiri kan aku suka bola basket, kekuatan melemparku cukup bagus kata pak
guru olahraga, tapi… menjadi atletic, ah… aku sadar kok akan diriku”
Sejenak
keheningan menerpa diantara kekakuan perbincangan mereka. Dani ingin sekali
menghibur teman satu-satunya itu. Tapi dia pun tak tahu caranya.
“Walaupun tidak jadi atletic, kamu
bisa bermain basket sepuas kamu, kamu bisa berlatih jika kita mempunyai bola
basket sendiri” hibur Dani.
“Kamu benar Dan, oh ya gimana kalau
kita mulai berbisnis, kita saling membantu jualan gorengannya, kita coba
mendirikan warung kecil-kecilan, hitung-hitung tidak hanya memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari tapi kita juga bisa menabung untuk keinginan kita”
“Aku
sih oke-oke aja, tapi modalnya kita nyari kemana?” kata Dani
“Kita
jualan dulu, kalau kita dapat uang banyak nanti kita tabung” kata Fadil
“Oke
aku setuju” Dani mengacungkan jempol tanda setuju.
Mereka
pun berjualan dengan penuh semangat, optimis dan penuh keyakinan.
“Kayak
gini dong kerja keras, optimis dan selalu berdoa kepada Allah” kata Fadil.
Setelah
lima bulan mereka menyisihkan untuk menabung hasil jualannya, mereka akhirnya
berhasil membuka warung gorengan walaupun masih kecil. Namun Alhamdulillah
banyak tetangga yang menjadi pelanggan tetap. Warung gorengannya tak pernah
sepi, setelah mentari mulai tampak memerah di arah barat, itulah waktunya
mereka pulang. Namun Fadil tidak langsung pulang, dia masih mampir ke lapangan
basket untuk melakukan hobinya. Sekitar satu jam Fadil larut dalam permainannya.
Benar kata pak olahraga, Fadil kuat dalam melempar bola basket. Dan tak pernah
sekalipun dia sadari bahwa selama bermain ada sesosok yang diam-diam
memperhatikannya.
Ketika
hari kelulusan tiba, Fadil dan Dani berhasil lulus dengan nilai cukup istimewa.
Tak di sangka sebuah amplop besar di berikan kepala sekolah pada Fadil. Dan
ternyata isinya adalah formulir Peserta Pelatihan Bola Basket untuk Difabel
tingkat Kabupaten. Yach… Fadil diajak bergabung dengan pemain atletic bola
basket yang diimpikannya.
Sungguh tak ada kata yang cukup
untuk mewakili kebahagiaan Fadil saat itu. Ternyata beginilah hasil
perjuangannya selama ini. Terimakasih Allah!
Tamat