Semilir angin menuai lamunan, berhembus menciptakan ketenangan. Kicau burung tak jelas terdengar karena pikiran kembali melayang. Menghayalkan masa depan bersama asa yang telah terekam. Berharap fakta didepan mata, untuk mengukir sejarah baru bersama cita.
Diam…..
Semua diam lama mematung. Tiba-tiba raung loudspeaker menggetarkan jiwa.
Semua harap-harap cemas, termasuk aku dan ke-tiga sahabatku. Satu per-satu nama
dipanggil. Ketiga sahabatku sudah menerima amplop masing-masing, hingga
akhirnya akupun menerimanya. Kami sepakat untuk menukar dan membukanya secara
bersamaan.
Satu…..dua…..tiga!
Bismillah…..
Sejenak hening,
dan
“Rada, kamu lulus?” kata Nita
“Ana, kamu lulus?” kata Rada
“Nita kamu lulus?” kataku girang
Tapi…..
“Aku lulus juga kan An?” kataku
cemas.
Kulihat
ekspresinya berubah.
“Kamu lulus Firza, nilaimu tinggi!”
teriak Ana mengagetkanku
“Beneran An!” kata Rada dan Nita
serentak. Ana mengangguk pasti, kulihat kertas putih itu, masyaallah rata-rataku sembilan. Aku sangat
bersyukur lalu aku memutuskan untuk menghubungi keluargaku dan memintanya untuk
mengunjungiku besok sore di Pondok.
*
* *
Sore memperindah hariku. Setelah hadiran ashar, aku bersiap-siap menunggu i-phone memanggilku, dan entah berapa lama suara yang ku-tunggu bergema juga.
Aku langsung lari kekantor dan di sana tampak Ibu dan Kakakku sedang duduk.
“Assalamualaikum, Ibu….Kakak” aku mencium tangan keduannya. Lalu duduk di
tengah-tengah mereka, orang-orang yang sangat aku sayangi.
“Bagaiman, kamu lulus kan, nak…..” Tanya Ibu.
“Iya, Alhamdulillah Firza lulus Bu, kak” jawabku dengan raut sumringah.
“Oya… Bapak mana Bu?” tanyaku kemudian.
“Dirumah, sedang ada tamu, ” kata Ibu singkat.
“Oya, adik mau ngelanjutin kemana?” kata Kakak mengagetkanku. Aku
berpikir sejenak, mengingat mimpi-mimpi yang sudah sejak dulu aku angankan. Apakah
aku harus member tahu mereka sekarang? Ah..ya ini adalah waktu yang tepat.
“Kalau boleh, Firza ingin kuliah di luar negeri Bu, Firza ingin ke negeri
Sakura, ingin belajar banyak hal di sana, em….. boleh tidak Bu” kataku pelan
berharap jawab yang mengembirakan.
“Di Korea ” Kakak bergumam.
Seketika hening,
semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Hatiku mulai berdetak tak karuan. Aku
takut tak bisa mengendalikan perasaan. Hah… Ibu, ayolah segera jawab, jangan
buat aku penasaran.
“Hm… gimana ya dik, apa tidak
terlalu jauh?” kata kakak membuatku pias pelan-pelan. Lalu ku pandang Ibu yang
sedari tadi diam. Ku lihat dahi Ibu berkerut samar, itu tandanya Ibu sedang berpikir
keras.
“Firza sadar kan kalau Firza itu
perempuan?” Tanya ibu mengagetkanku, apa hubungannya dengan pendidikanku?
“Firza sadar kok Bu, sangat sadar,
ya… Firza ngerti Ibu hawatir tapi Firza bisa jaga diri Bu, ada banyak
teman-teman Firza di sana, ada gurunya Firza juga kok, jadi Ibu jangan terlalu
hawatir ya” jelasku panjang lebar. Aku tak ingin hanya karena aku seorang
perempuan, cita-citaku tak kesampaian. Aku harus buktikan bahwa seorang
perempuan juga berhak diberi kesempatan.
Namun entah, apa yang ada dipikiran
Ibu. Semoga ibu paham akan impianku.
“Ya…..kalau Firza inginnya seperti
itu apa boleh buat, asal Firza harus janji akan baik-baik saja dan belajarnya
yang benar” tutur Ibu membuatku bersorak gembira.
Huff.. akhirnya,
“Terima kasih, Bu” akupun memeluk Ibu
erat-erat.
* *
*
14 Juli 2008
Entah! Tak pernah kurasakan
kegelisahan seberat ini. Hari ini adalah pendaftaran terakhir untuk mendapat
beasiswa kuliah di negeri Sakura. Tapi mengapa Bapak belum datang juga. Aku
butuh beliau sebagai waliku. Aku hanya
butuh kesaksiannya, itu saja. Aku duduk di teras kantor menunggunya. Tapi tak
ada, hingga senja menyapa. Air mata mengalir di pipi, tak ingin beranjak dari
tempat dudukku, tapi ketiga sahabatku menghampiriku.
“Firza, ke kamar yuk, hari sudah
petang” kata Ana sambil menarik lengan bajuku. Tapi aku tidak menghiraukannya.
“Za, mungkin Bapakmu datang besok”
Rada ikut nimbrung
“Untuk apa datang besok, yang aku
butuhkan hari ini, tapi kenapa Bapak
tidak datang”gerutuku kesal.
“Mungkin Bapakmu sedang sibuk Za,” Nita ikut menasehatiku.
“Ah….. sudahlah, mungkin aku memang
tidak ditakdirkan untuk sekolah di luar negeri, mungkin sampai di sini saja
impianku kali ini” akupun berlalu dari tempat itu.
Aku tak mengerti mengapa keluargaku
mengizinkaku tempo hari jika nyatanya mereka tidak rela melepaskanku. Apa yang
sebenarnya maksud mereka. Kenapa masih memberi harapan jika akhirnya tidak
diizinkan. Ahk… aku benci, kenapa tak ada yang peduli padaku? Isakku semakin kencang,
gemuruh kemarahan menjalar ke hatiku.
* *
*
Pagi yang buta mengantarku pada
kesedihan. Tak dapat dipungkiri, kubumikan asaku yang tinggal sebias saja. Aku
menunggu raung i-phone memanggilku. Dan ketika terik mentari semakin menyengat,
barulah dapat panggilan yang aku inginkan. Sebenarnya malas sekali kulangkahkan
kaki ini menuju kantor. Tapi bagaimapun aku harus mendaptkan penjelasan dari Bapakku.
Tapi kenapa malah sosok kakak yang ku dapati tengah men ungguku?
“Assalamualaikum,
dik Firza” sapa Kakak setelah aku duduk dihadapannya.
“Walaikumsalam” akupun mencium
tangannya. Sejenak kami bungkam, mungkin Kakak bingung untuk memulainya.
“Kenapa kakak yang datang, kenapa
bukan Bapak?” tanyaku langsung. Ku lihat
wajahnya berubah pucat, seakan ada sesuatu yang ia sembunyikan.
“Maafin Bapak ya Dik, beliau tidak
bisa datang, rencananya kemarin kakak yang datang tapi kemarin kakak harus
menemani bapak…”
“Kenapa gitu, memangnya Bapak kemana
kak, masa’ Bapak tidak bisa meluangkan waktunya walau sedikit, apa beliau sudah
tidak sayang lagi pada Firza?” kataku mulai menangis.
“Jangan bilang begitu Dik, kakak tahu kamu marah,
ya.. kakak paham tapi cobalah mengerti alasannya” kata kakakku membuatku
semakin kesal.
“Apa yang bisa aku mengerti kak bila
semuanya tidak jelas begini, aku menunggu kak, menunggu hingga batas terakhir, hingga
tak ku pahami harapanku sendiri” kini air mataku tak bisa ku bendung.
“Dik… dengar, kau salah menilai
Bapak, beliau sangat menyayangimu, sangat Dik, kau tahu Bapak…Bapak seperti ini
demi kamu Dik…”
“Apa maksud ka kak? Bapak kenapa?”
tanyaku mulai hawatir dengan penjelasanya. Awalnya kakak enggan untuk
menjelaskan, tapi aku paksa hingga akhirnya aku tahu semuanya. Ternyata Bapak
selama ini sakit parah. Kini air mataku menganak sungai, aku tak b isa berpikir
banyak. Dengan langkah Seribu, aku langsung minta izin kepengurus untuk pulang.
Di perjalanan tak hentinya air mata mengalir dari pelupuk mataku
“Ya Allah maafkan aku, selamatkan bapak ya Robby…..” gumamku dalam hati.
Aku sangat berdosa menganggap
keluargaku tidak memperhatikanku padahal semuanya begitu sayang padaku.
Sampai-sampai mereka menyembunyikan penyakit bapak agar aku dapat konsen pada
UAN kemarin. Ternyata selama tiga bulan terakhir Bapak terbaring tak berdaya,
beliau mengidap menyakit TBC.
Setelah tiba dirumah, Ibu menyambutku dengan mata sembab.
“Bapak bagaimana ibu…?”tanyaku pada ibu.
Ibu menjawabnya
dengan isyarat mata, lalu aku kekamar Bapak. Kulihat wajah pucat itu terbaring
ditempat tidur. Kucium keningnya begitu hangat.
“Bapak…bapak harus kuat melawan penyakit bapak, Firza selalu doain bapak.
Bapak harus sembuh” bisikku pelan ditelinganya. Matanya pelan-pelan terbuka.
“Za…. Firza”
“ya… Bapak Firza di sini, apanya yang sakit pak?” tanyaku pada bapak yang
tampak menahan sakit. Namun bapak hanya menggeleng pelan. Ku lihat garis senyum
di bi birnya.
“Bapak rindu sekali nak padamu…” kata bapak terbata-bata. Aku mengangguk
meng-iyakan. Bapak… Firza juga rindu. Tapi mata bapak terkatup kembali,
nafasnya lembut terdengar. Bapak tertidur lagi.
Aku tidak ingin mengganggunya. Ku
pakaikan selimut tebal ke tubuhnya yang ringkih. Ku cium tangannya yang mulai
keriput. Tuhan….. tolong sembuhkan Bapak, angkatlah penyakitnya, kembalikan
beliau seperti sedia kala.
Kini aku mengerti, tidak ada orang tua yang tidak sayang pada anaknya.
Sekalipun tampak tak peduli tapi jauh dilubuk hatinya ada rasa sayang yang tak
terbilang. Rasa yang tak kan lenyap tertelan masa.
Akupun berpikir kembali. Tak ada yang salah bila mimpi tertunda. Masih
banyak mimpi yang menunnggu gilirannya. Mungkin tak bisa sekarang, siapa tahu
tahun depan. Akan ada ganti yang lebih indah bila hati mengikhlaskan. Semoga
aku termasuk di dalamnya.
“Ibu….Firza akan kuliah di pondok, ibu jangan hawatir Firza dan kak Arief
akan tetap bersama ibu dan bapak, ibu jangan sedih ya….” Kataku pada ibu.
“Tapi nak… bagaimana dengan impian kamu?” Tanya ibu prihatin.
“Firza ikhlas bu, tidak terwujud sekarang mungkin kapan-kapan, yang
penting sekarang kesehatan bapak" ibu memelukku erat, mencium keningku
dengan linangan air mata. Aku tak bisa tuk tak ikut menangis.
“Nak… maafin bapak dan ibu ya, Ibu selalu mendoakanmu yang terbaik, kami
sangat menyayangimu dan berharap besar padamu” bisiknya di telingaku. Ibu Firza
juga sayang ibu.
“Adikkk…” terdengar teriak kak Arief dari luar rumah.
“Ada apa kak kok teriak-teriak, bapak sedang tidur” tegurku pelan.
“Maaf bu, tapi ini kabar gembira” katanya penuh semangat.
“Ada apa Rief?” Tanya ibu penasaran.
“Dik ini ada SMS untuk kamu” katanya sambil menyodorkan HP padaku.
“Dari siapa?”
“Baca saja”
“ assalamualaikum wr.wb,
Untuk saudari Firza Hasanah Putri Bapak Syamsul Hadi beralamat di Pasongsongan
Sumenep, selamat anda mendapatkan
beasiswa berprestasi untuk melanjutkan pendidikan tingkat PT di luar negeri
dengan biaya hidup selama masa pendidikan. Diharap kehadirannya hari senin
tanggal 25 juli 2008 di kantor Departemen Pendidikan nasional Surabaya untuk
mengurusi perlengkapan data. Terimakasih.”
Tak bisa ku ucap sepatah kata, inikah rahasiamu tuhan!
“al hamdulillah, Allah sungguh menyayangimu nak” rengkuh ibu sekali lagi.
Aku tak percaya tuhan, tapi terimakasih Engkau maha bijaksana.
Istana cinta FLP, September 2013
*perempuan yang teramat biasa yang berusaha menjadi luar biasa.
Ditulis Oleh : Hiro Syarief
Nama pena dari Hidayatur Rohimah. Alumni MTs Istikmalunnjah dan kini menjadi guru pembimbing Ekstrakurikuler FLP di almamaternya.