Kekuasaan merupakan bagian yang tidak bisa
dipisahkan dalam sejarah manusia. Ia ibarat dua mata koin yang menjadi satu
kesatuan dengan kehidupan manusia. Dalam praktiknya, secara sosial kekuasaan
tersebut melahirkan derajat tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat, baik
kekuasaan kelompok maupun individu, seperti kekuasaan pemerintahan (raja,
presiden, perdana menteri, dan pejabat pada umumnya), hartawan, ilmuan, dan
kaum agamawan. Kenyataan semacam ini sesuai dengan penuturan al-Qur’an bahwa
Allah mencitapkan manusia dengan kondisi berbeda-beda, baik dari segi sosial
maupun dari segi pengetahuan (al-Baqarah (2): 30, Ṣâd (38): 26, az-Zumar (39):
9, dan al-Ḥujurât (49): 13).
Penulis meyakini bahwa pada dasarnya kekuasaan
yang dimiliki seseorang adalah mulia. Mengingat ia merupakan amanah Tuhan untuk
mengatur masyarakat yang berada di bawah kekuasaannya agar roda kehidupan
berjalan sesuai dengan aturan-aturan baik yang sudah disepakati. Sehingga
ketimpangan sosial bisa ditekan atau bahkan bisa dihindarkan karena keadilan
dan kemaslahatan telah dinikmati secara bersama-sama.
Oleh karena itu, pemerintah harus mengatur
pemerintahannya dengan baik dan memberikan layanan terbaik kepada seluruh
rakyatnya. Para hartawan harus membelanjakan hartanya kepada orang-orang yang
tidak mampu, para ilmuan harus memberikan ilmunya kepada orang-orang awam
dengan tulus, para agamawan harus membimbing jemaahnya sesuai dengan ajaran
agama masing-masing. Sebab, tidak mungkin seluruh manusia yang hidup di bumi
ini memiliki status dan kedudukan yang sama. Bagaimanapun mereka tetap
berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Hal ini merupakan hukum alam yang
tidak bisa ditentang oleh siapapun. Adanya perbedaan ini tentu mengajarkan kita
untuk saling mengisi, berbagi, dan membantu satu sama lain. Sehingga kehidupan
berjalan dengan indah dari generasi ke generasi berikutnya.
Namun demikian, seiring bergulirnya waktu
sebagian kekuasaan tampaknya tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Kekuasaan
yang dimiliki oleh seseorang dipreteli sedemikian rupa. Sehingga kekuasaan yang
sejatinya mulia menjadi bumerang dan ancaman terbesar bagi kehidupan masyarakat
yang berada di bawah kekuasaannya. Bahkan para penguasa dengan kekuasaannya
seringkali mempermainkan kehidupan orang-orang yang lemah. Tidak jarang pula
masyarakat dijadikan alat untuk meraih kekuasaan tertentu. Kekuasaan seakan
tidak lagi menjadi solusi bagi keberlangsungan hidup manusia. Sehingga tidak
heran apabila sebagian masyarakat menganggap kekuasaan sebagai musuh terbesar
yang harus diperangi, seperti kaum komunis yang menentang kekuasaan dan
menjadikan manusia sama tanpa sekat-sekat kelas yang membedakannya.
Dalam hal ini, dahulu pernah muncul ide-ide
utopis untuk menyamaratakan manusia, seperti dikemukakan oleh Plato ketika masa
Yunani. Hal ini karena terjadi ketimpangan sosial antara para penguasa yang
sewenang-wenang kepada orang-orang kecil. Sehingga menyebabkan timbulnya
kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh meraka (orang-orang kecil), seperti
mencuri dan lain sebagainya (W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi,
1970: 42-43).
Oleh karena itu, perbedaan merupakan sebuah keniscayaan
sesuai dengan hukum alam yang berlaku (sunnatullâh). Suatu hal negatif
pasti mendapat tantangan (antitesis) dari suatu hal positif. Dengan demikian,
tidak heran apabila setiap kekuasaan yang otoriter atau sewenang-wenang
mendapatkan perlawanan dari orang-orang tertentu yang membenci hal itu.
Perlawanan itu bisa berupa pembelotan dan balik menyerang kekuasaan tersebut
dengan kekuatan yang dimiliki, atau juga bisa berupa kritikan-kritikan yang
nantinya menjadi cikal-bakal munculnya keberanian orang-orang lain untuk
melawan kekuasaan itu.
Salah satu contohnya adalah Nabi Musa as. yang
menjadi penentang kekufuran dan kediktatoran Fir’aun (al-A‘râf (7): 103-105), Plato, dan Aristoteles yang sama-sama menentang para penguasa pada masa
Yunani, khususnya para hartawan yang sewenang-sewenang (Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, hlm. 42-43). Dalam hal keagamaan, bagaimana Ibn Taimiyah
dan Ibn Qayyim melawan dominasi kekuasaan pemikiran yang menganggap bahwa pintu
ijtihad dalam Islam sudah tertutup dan mewajibkan seorang Muslim bertaklid
kepada para imam tertentu, terutama Imam Abû Ḥanîfah, Mâlik, asy-Syâfi‘î, dan Aḥmad
(Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, 1995: 151).
Sementara golongan Mu’tazilah menentang dominasi teks keagamaan yang terlalu
menyudutkan posisi akal, yang kemudian ditentang pula oleh kaum teolog
Asy’ariyah karena dianggap terlalu “mendewakan” akal (Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, 2011).
Dalam dunia sastra, bagaimana para pujangga
(sastrawan atau penyair) melakukan perlawan terhadap kekuasaan (kelompok atau
individu) yang diktator dan tidak berkeprimanusiaan. Mereka sengaja menciptakan
karya sastra, baik puisi, novel, cerpen, maupun prosa. Beberapa karya tersebut
dijadikan “pisau” untuk mengkritik para penguasa lalim dan “pecut” untuk
membangkitkan gelora juang masyarakat agar melawan kekuasaan tiran tersebut.
Salah satu contohnya adalah karya sastra tertua di dunia yang berbentuk cerita
farabel, yaitu “Kalilah dan Dimnah”. Karya ini lahir sebagai kritik terhadap
penguasa waktu itu (Ali bin Syah al-Farasi, Kalilah dan Dimnah, terj.,
Ust. Salim Bazmul, 2007).
Karya sastra lain adalah syair Majnȗn Lailâ
yang digubah oleh orang Arab suku Badawî. Disinyalir karya ini sengaja
diciptakan sebagai bentuk kritik kepada kebijakan pemerintahan Umayah yang
sewenang-wenang. Syair Majnȗn Lailâ ini kemudian
digubah oleh Syaikh Nizami dalam bentuk novel terkenal berjudul Laila Majnun (Mohammad Affan, Konflik Sosial
Antara Arab Badawî dan Arab Muslim di Era
Pemintahan Dinasti Umayah: Tinjauan Sosiologi Sastra Terhadap Syair Majnȗn Laiâ, 2012).
Dalam hal ini, apabila suku Arab Badawî mengkritisi
kekuasaan dan keberislaman Umayah yang dianggap melenceng dari nilai dasar
Islam, maka Kahlil Gibran, seorang Kristen Maronit, mengkritisi dominasi gereja
dan para pemukanya yang dinilai melenceng dari ajaran dasar Kristen (Kahlil
Gibran, The Earth Gods (Para Dewa Bumi), terj., Fauzi Absal dan Emmanuel
Cahyo Kristanto, 2001). Sehingga tidak heran apabila dia membebaskan diri dari
belenggu ekslufisme. Menurutnya, agama lebih dalam daripada ajaran kaku kaum
agamawan. Dia memberontak terhadap kelaziman tatanan masyarakat yang sering
disebut berdasarkan agama dan mencoba meluruskan kembali nilai-niai luhur yang
diberikan Tuhan yang ingin dikekang oleh kekuasaan raja, politisi, dan kaum
agamawan. Oleh karena itu, dia mengajak masyarakat memberontak dari dominasi
dan belenggu negara Barat (The Earth Gods, hlm. X-XI). Salah
satunya adalah bangkit dari ketertindasan dan kebodohan.
Selain itu, Gibran merisaukan dan mengkritisi
para penguasa agama (kaum agamawan) yang telah “mengobok-obok” agama. Sehingga
perang antar agama menjadi tidak terelakkan, yang pada akhirnya menimbulkan
kekacauan dan mengorbankan ribuan nyawa manusia. Kegelisahannya ini terekam
indah dalam salah satu ungkapannya: “sampai kapankah salib akan menjauh dari
dari bulan sabit di hadapan Allah?”. Tidak berhenti di sini, Gibran juga
menciptakan karya “Jiwa-Jiwa Pemberontak”. Melalui karya ini, dia menyerukan
jiwa-jiwa memberontak terhadap kedunguan yang seringkali mengubah ajaran suci
Tuhan dan memberontak kepada kekuasaan agama dan politik yang saling
bahu-membahu agar manusia menjadi dungu. Dengan demikian, mereka bisa menguasai
manusia-manusia dungu tersebut (The Earth Gods, hlm. X-XI).
Oleh karena itu, penulis menganggap perlu
mengkontekstualisasikan kembali ajaran Jiwa-Jiwa Pemberontak (Kahlil Gibran, Jiwa-Jiwa
Pemberontak, terj. K. Suhardi, 2010) yang telah lama diusung oleh Gibran
untuk kehidupan sekarang. Mengingat sekarang tidak sedikit kekuasaan (kelompok
atau individu) hanya dijadikan alat untuk mendapatkan kepentingan. Dalam hal
agama, misalnya, tidak sedikit tokoh-tokoh agama (kaum agamawan) menodai
kesucian agama untuk menjustifikasi keinginan dan kepentingan tertentu.
Sehingga agama menjadi bumerang dalam kehidupan masyarakat. Mengingat agama
hanya dijadikan kekuasaan untuk membenarkan pendapat pribadi atau golongannya
dan mengafirkan orang atau golongan lain. Agama hanya dijadikan ranjau yang
menyebabkan orang-orang terjebak di dalamnya. Agama hanya dijadikan “pisau”
atau “bom” untuk membunuh orang lain yang berbeda paham atau kelompok. Padahal
semua ini sangat bertentangan dengan nilai dasar dan keberadaan agama itu
sendiri. Sebab, agama hadir sejatinya untuk memberikan kesejahteraan kepada
para pemeluknya, baik di dunia maupun akhirat.
Dalam Islam, kenyataan semacam ini terlihat
jelas dari konflik antar golongan (mazhab), seperti Sunni, Syiah, dan
Ahmadiyah. Dulu, di rumah penulis, masjid orang LDII yang berada di Kecamatan
Pasean pernah dibakar oleh masyarakat sekitar yang merupakan penganut Sunni.
Bahkan kasus memilukan menimpa orang-orang Syiah di Kabupaten Sampang.
Masyarakat sekitar yang notabene warga Sunni tidak hanya membakar rumah-rumah
mereka (warga Syiah Sampang), tetapi juga mengusir mereka dari kampung
halamannya. Kasus serupa juga menimpa orang-orang Ahmadiyah di beberapa daerah
di Indonesia. Mereka seringkali mendapatkan gangguan dan bahkan pengusiran dari
oknum-oknum masyarakat sekitar. Bahkan masih banyak lagi kasus-kasus kekerasan
terhadap masyarakat minoritas yang memiliki pemahaman berbeda dengan masyarakat
mayoritas.
Lebih miris lagi ketika agama dijadikan “kambing
hitam” untuk mendapatkan jabatan ketika memasuki pesta demokrasi,
seperti pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati, dan lainnya. Praktik semacam ini
bukan barang baru lagi dalam perpolitikan Indonesia. Keterlibatan kepentingan
politik tertentu setidaknya dapat dilihat dari beberapa kasus, seperti Syiah
Sampang, Masjid al-Misbah milik Jemaat Ahmadiyah dan Gereja HKBP Filadelfia di
Bekasi, dan sengketa Masjid Nur Musafir di Kupang (Muhammad Afdillah, Dari
Masjid ke Panggung Politik (Melacak Akar-akar Kekerasan Agama Antara Komunitas
Sunni dan Syiah di Sampang Jawa Timur), 2016 dan Mohammad Iqbal Ahnaf dkk.,
Politik Lokal dan Konflik Keagamaan Pilkada dan Struktur Kesempatan Politik
dalam Konflik Keagamaan di Sampang, Bekasi, dan Kupang, 2015).
Bahkan bangsa Indonesia pernah dihebohkan
dengan kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Awalnya dia memang bermaksud
mengkritik kebiasaan buruk beberapa orang yang mengeksploitasi dan
mempolitisasi agama untuk meraih kekuasaan ketika perhelatan pesta demokrasi
tiba. Namun, malang sungguh malang, kritiknya tersebut dipelintir oleh kelompok
tertentu dan dianggap sebagai penodaan agama (Islam). Pemelintiran ini tidak
hanya sukses memenjarakan Ahok, tetapi juga sukses menumbangkan dan mengubur
keinginannya menjadi Gubernur yang kedua kalinya di Jakarta.
Adapun
berkaitan dengan ajaran Jiwa-Jiwa Pemberontak, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) menyebutkan bahwa ajaran adalah segala sesuatu yang diajarkan; nasihat;
petuah; petunjuk. Dengan demikian, segala petuah yang disampaikan oleh Gibran
dalam buku Jiwa-Jiwa Pemberontak bisa menjadi ajaran yang dapat diikuti
oleh manusia era sekarang. Salah satunya memberontak terhadap setiap
ketidakadilan hidup, seperti kedunguan dengan belajar dan kekuasaan yang sudah
melenceng jauh dari nilai-nilai luhur kemanusiaan. Berharap orang lain turut
serta melakukan pemberontakan terhadap realitas kehidupan yang sangat merugikan
dan tidak berkeprimanusiaan, terutama terhadap kekuasaan (kelompok atau
individu). Dengan demikian, benar apa yang dikatakan oleh Gibran: “seseorang
bisa bebas tanpa kebesaran, tapi tidak seorangpun dapat besar tanpa kebebasan”.
Wa Allâh A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam.
ditulis oleh : Nasrullah Ainul Yaqin, S.H.I., M.A. Alumni Madrasah Tsanawiyah Istikmalunnajah Pasongsongan (2002-2005), Sumenep, Madura. Tulisan-tulisannya yang lain banyak beredar di beberapa media online, seperti www.qureta.com, geotimes.co.id, harakatuna.com, bincangsyariah.com, nalarpolitik.com, detik.com, islami.co, dan fkmsbyogyakarta.wordpress.com.