Membumikan Ajaran Jiwa-Jiwa Pemberontak Kahlil Gibran - Alfan Fazan Jr.
Membumikan Ajaran Jiwa-Jiwa Pemberontak Kahlil Gibran

Membumikan Ajaran Jiwa-Jiwa Pemberontak Kahlil Gibran


Kekuasaan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam sejarah manusia. Ia ibarat dua mata koin yang menjadi satu kesatuan dengan kehidupan manusia. Dalam praktiknya, secara sosial kekuasaan tersebut melahirkan derajat tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat, baik kekuasaan kelompok maupun individu, seperti kekuasaan pemerintahan (raja, presiden, perdana menteri, dan pejabat pada umumnya), hartawan, ilmuan, dan kaum agamawan. Kenyataan semacam ini sesuai dengan penuturan al-Qur’an bahwa Allah mencitapkan manusia dengan kondisi berbeda-beda, baik dari segi sosial maupun dari segi pengetahuan (al-Baqarah (2): 30, Ṣâd (38): 26, az-Zumar (39): 9, dan al-Ḥujurât (49): 13).
Penulis meyakini bahwa pada dasarnya kekuasaan yang dimiliki seseorang adalah mulia. Mengingat ia merupakan amanah Tuhan untuk mengatur masyarakat yang berada di bawah kekuasaannya agar roda kehidupan berjalan sesuai dengan aturan-aturan baik yang sudah disepakati. Sehingga ketimpangan sosial bisa ditekan atau bahkan bisa dihindarkan karena keadilan dan kemaslahatan telah dinikmati secara bersama-sama.
Oleh karena itu, pemerintah harus mengatur pemerintahannya dengan baik dan memberikan layanan terbaik kepada seluruh rakyatnya. Para hartawan harus membelanjakan hartanya kepada orang-orang yang tidak mampu, para ilmuan harus memberikan ilmunya kepada orang-orang awam dengan tulus, para agamawan harus membimbing jemaahnya sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Sebab, tidak mungkin seluruh manusia yang hidup di bumi ini memiliki status dan kedudukan yang sama. Bagaimanapun mereka tetap berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Hal ini merupakan hukum alam yang tidak bisa ditentang oleh siapapun. Adanya perbedaan ini tentu mengajarkan kita untuk saling mengisi, berbagi, dan membantu satu sama lain. Sehingga kehidupan berjalan dengan indah dari generasi ke generasi berikutnya.
Namun demikian, seiring bergulirnya waktu sebagian kekuasaan tampaknya tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang dipreteli sedemikian rupa. Sehingga kekuasaan yang sejatinya mulia menjadi bumerang dan ancaman terbesar bagi kehidupan masyarakat yang berada di bawah kekuasaannya. Bahkan para penguasa dengan kekuasaannya seringkali mempermainkan kehidupan orang-orang yang lemah. Tidak jarang pula masyarakat dijadikan alat untuk meraih kekuasaan tertentu. Kekuasaan seakan tidak lagi menjadi solusi bagi keberlangsungan hidup manusia. Sehingga tidak heran apabila sebagian masyarakat menganggap kekuasaan sebagai musuh terbesar yang harus diperangi, seperti kaum komunis yang menentang kekuasaan dan menjadikan manusia sama tanpa sekat-sekat kelas yang membedakannya.
Dalam hal ini, dahulu pernah muncul ide-ide utopis untuk menyamaratakan manusia, seperti dikemukakan oleh Plato ketika masa Yunani. Hal ini karena terjadi ketimpangan sosial antara para penguasa yang sewenang-wenang kepada orang-orang kecil. Sehingga menyebabkan timbulnya kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh meraka (orang-orang kecil), seperti mencuri dan lain sebagainya (W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, 1970: 42-43).
Oleh karena itu, perbedaan merupakan sebuah keniscayaan sesuai dengan hukum alam yang berlaku (sunnatullâh). Suatu hal negatif pasti mendapat tantangan (antitesis) dari suatu hal positif. Dengan demikian, tidak heran apabila setiap kekuasaan yang otoriter atau sewenang-wenang mendapatkan perlawanan dari orang-orang tertentu yang membenci hal itu. Perlawanan itu bisa berupa pembelotan dan balik menyerang kekuasaan tersebut dengan kekuatan yang dimiliki, atau juga bisa berupa kritikan-kritikan yang nantinya menjadi cikal-bakal munculnya keberanian orang-orang lain untuk melawan kekuasaan itu.
Salah satu contohnya adalah Nabi Musa as. yang menjadi penentang kekufuran dan kediktatoran Fir’aun (al-Arâf (7): 103-105), Plato, dan Aristoteles yang sama-sama menentang para penguasa pada masa Yunani, khususnya para hartawan yang sewenang-sewenang (Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, hlm. 42-43). Dalam hal keagamaan, bagaimana Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim melawan dominasi kekuasaan pemikiran yang menganggap bahwa pintu ijtihad dalam Islam sudah tertutup dan mewajibkan seorang Muslim bertaklid kepada para imam tertentu, terutama Imam Abû Ḥanîfah, Mâlik, asy-Syâfi‘î, dan Aḥmad (Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, 1995: 151). Sementara golongan Mu’tazilah menentang dominasi teks keagamaan yang terlalu menyudutkan posisi akal, yang kemudian ditentang pula oleh kaum teolog Asy’ariyah karena dianggap terlalu “mendewakan” akal (Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, 2011).
Dalam dunia sastra, bagaimana para pujangga (sastrawan atau penyair) melakukan perlawan terhadap kekuasaan (kelompok atau individu) yang diktator dan tidak berkeprimanusiaan. Mereka sengaja menciptakan karya sastra, baik puisi, novel, cerpen, maupun prosa. Beberapa karya tersebut dijadikan “pisau” untuk mengkritik para penguasa lalim dan “pecut” untuk membangkitkan gelora juang masyarakat agar melawan kekuasaan tiran tersebut. Salah satu contohnya adalah karya sastra tertua di dunia yang berbentuk cerita farabel, yaitu “Kalilah dan Dimnah”. Karya ini lahir sebagai kritik terhadap penguasa waktu itu (Ali bin Syah al-Farasi, Kalilah dan Dimnah, terj., Ust. Salim Bazmul, 2007).
Karya sastra lain adalah syair Majnȗn Lailâ yang digubah oleh orang Arab suku Badawî. Disinyalir karya ini sengaja diciptakan sebagai bentuk kritik kepada kebijakan pemerintahan Umayah yang sewenang-wenang. Syair Majnȗn Lailâ ini kemudian digubah oleh Syaikh Nizami dalam bentuk novel terkenal berjudul Laila Majnun (Mohammad Affan, Konflik Sosial Antara Arab Badawî dan Arab Muslim di Era Pemintahan Dinasti Umayah: Tinjauan Sosiologi Sastra Terhadap Syair Majnȗn Laiâ, 2012).
Dalam hal ini, apabila suku Arab Badawî mengkritisi kekuasaan dan keberislaman Umayah yang dianggap melenceng dari nilai dasar Islam, maka Kahlil Gibran, seorang Kristen Maronit, mengkritisi dominasi gereja dan para pemukanya yang dinilai melenceng dari ajaran dasar Kristen (Kahlil Gibran, The Earth Gods (Para Dewa Bumi), terj., Fauzi Absal dan Emmanuel Cahyo Kristanto, 2001). Sehingga tidak heran apabila dia membebaskan diri dari belenggu ekslufisme. Menurutnya, agama lebih dalam daripada ajaran kaku kaum agamawan. Dia memberontak terhadap kelaziman tatanan masyarakat yang sering disebut berdasarkan agama dan mencoba meluruskan kembali nilai-niai luhur yang diberikan Tuhan yang ingin dikekang oleh kekuasaan raja, politisi, dan kaum agamawan. Oleh karena itu, dia mengajak masyarakat memberontak dari dominasi dan belenggu negara Barat (The Earth Gods, hlm. X-XI). Salah satunya adalah bangkit dari ketertindasan dan kebodohan.
Selain itu, Gibran merisaukan dan mengkritisi para penguasa agama (kaum agamawan) yang telah “mengobok-obok” agama. Sehingga perang antar agama menjadi tidak terelakkan, yang pada akhirnya menimbulkan kekacauan dan mengorbankan ribuan nyawa manusia. Kegelisahannya ini terekam indah dalam salah satu ungkapannya: “sampai kapankah salib akan menjauh dari dari bulan sabit di hadapan Allah?”. Tidak berhenti di sini, Gibran juga menciptakan karya “Jiwa-Jiwa Pemberontak”. Melalui karya ini, dia menyerukan jiwa-jiwa memberontak terhadap kedunguan yang seringkali mengubah ajaran suci Tuhan dan memberontak kepada kekuasaan agama dan politik yang saling bahu-membahu agar manusia menjadi dungu. Dengan demikian, mereka bisa menguasai manusia-manusia dungu tersebut (The Earth Gods, hlm. X-XI).
Oleh karena itu, penulis menganggap perlu mengkontekstualisasikan kembali ajaran Jiwa-Jiwa Pemberontak (Kahlil Gibran, Jiwa-Jiwa Pemberontak, terj. K. Suhardi, 2010) yang telah lama diusung oleh Gibran untuk kehidupan sekarang. Mengingat sekarang tidak sedikit kekuasaan (kelompok atau individu) hanya dijadikan alat untuk mendapatkan kepentingan. Dalam hal agama, misalnya, tidak sedikit tokoh-tokoh agama (kaum agamawan) menodai kesucian agama untuk menjustifikasi keinginan dan kepentingan tertentu. Sehingga agama menjadi bumerang dalam kehidupan masyarakat. Mengingat agama hanya dijadikan kekuasaan untuk membenarkan pendapat pribadi atau golongannya dan mengafirkan orang atau golongan lain. Agama hanya dijadikan ranjau yang menyebabkan orang-orang terjebak di dalamnya. Agama hanya dijadikan “pisau” atau “bom” untuk membunuh orang lain yang berbeda paham atau kelompok. Padahal semua ini sangat bertentangan dengan nilai dasar dan keberadaan agama itu sendiri. Sebab, agama hadir sejatinya untuk memberikan kesejahteraan kepada para pemeluknya, baik di dunia maupun akhirat.
Dalam Islam, kenyataan semacam ini terlihat jelas dari konflik antar golongan (mazhab), seperti Sunni, Syiah, dan Ahmadiyah. Dulu, di rumah penulis, masjid orang LDII yang berada di Kecamatan Pasean pernah dibakar oleh masyarakat sekitar yang merupakan penganut Sunni. Bahkan kasus memilukan menimpa orang-orang Syiah di Kabupaten Sampang. Masyarakat sekitar yang notabene warga Sunni tidak hanya membakar rumah-rumah mereka (warga Syiah Sampang), tetapi juga mengusir mereka dari kampung halamannya. Kasus serupa juga menimpa orang-orang Ahmadiyah di beberapa daerah di Indonesia. Mereka seringkali mendapatkan gangguan dan bahkan pengusiran dari oknum-oknum masyarakat sekitar. Bahkan masih banyak lagi kasus-kasus kekerasan terhadap masyarakat minoritas yang memiliki pemahaman berbeda dengan masyarakat mayoritas.
Lebih miris lagi ketika agama dijadikan “kambing hitam” untuk mendapatkan jabatan ketika memasuki pesta demokrasi, seperti pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati, dan lainnya. Praktik semacam ini bukan barang baru lagi dalam perpolitikan Indonesia. Keterlibatan kepentingan politik tertentu setidaknya dapat dilihat dari beberapa kasus, seperti Syiah Sampang, Masjid al-Misbah milik Jemaat Ahmadiyah dan Gereja HKBP Filadelfia di Bekasi, dan sengketa Masjid Nur Musafir di Kupang (Muhammad Afdillah, Dari Masjid ke Panggung Politik (Melacak Akar-akar Kekerasan Agama Antara Komunitas Sunni dan Syiah di Sampang Jawa Timur), 2016 dan Mohammad Iqbal Ahnaf dkk., Politik Lokal dan Konflik Keagamaan Pilkada dan Struktur Kesempatan Politik dalam Konflik Keagamaan di Sampang, Bekasi, dan Kupang, 2015).
Bahkan bangsa Indonesia pernah dihebohkan dengan kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Awalnya dia memang bermaksud mengkritik kebiasaan buruk beberapa orang yang mengeksploitasi dan mempolitisasi agama untuk meraih kekuasaan ketika perhelatan pesta demokrasi tiba. Namun, malang sungguh malang, kritiknya tersebut dipelintir oleh kelompok tertentu dan dianggap sebagai penodaan agama (Islam). Pemelintiran ini tidak hanya sukses memenjarakan Ahok, tetapi juga sukses menumbangkan dan mengubur keinginannya menjadi Gubernur yang kedua kalinya di Jakarta.
Adapun berkaitan dengan ajaran Jiwa-Jiwa Pemberontak, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan bahwa ajaran adalah segala sesuatu yang diajarkan; nasihat; petuah; petunjuk. Dengan demikian, segala petuah yang disampaikan oleh Gibran dalam buku Jiwa-Jiwa Pemberontak bisa menjadi ajaran yang dapat diikuti oleh manusia era sekarang. Salah satunya memberontak terhadap setiap ketidakadilan hidup, seperti kedunguan dengan belajar dan kekuasaan yang sudah melenceng jauh dari nilai-nilai luhur kemanusiaan. Berharap orang lain turut serta melakukan pemberontakan terhadap realitas kehidupan yang sangat merugikan dan tidak berkeprimanusiaan, terutama terhadap kekuasaan (kelompok atau individu). Dengan demikian, benar apa yang dikatakan oleh Gibran: “seseorang bisa bebas tanpa kebesaran, tapi tidak seorangpun dapat besar tanpa kebebasan”. Wa Allâh A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam.

ditulis oleh : Nasrullah Ainul Yaqin, S.H.I., M.A. Alumni Madrasah Tsanawiyah Istikmalunnajah Pasongsongan (2002-2005), Sumenep, Madura. Tulisan-tulisannya yang lain banyak beredar di beberapa media online, seperti www.qureta.com, geotimes.co.id, harakatuna.com, bincangsyariah.com, nalarpolitik.com, detik.com, islami.co, dan fkmsbyogyakarta.wordpress.com.

Share with your friends