Alfan Fazan Jr.: Cerpen - Oretan tentang pendidikan di Indonesia
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Cerpen - Buah Manis Perjuangan 0

Cerpen - Buah Manis Perjuangan


Suatu hari di SMA Darun Najwa terlihat seorang anak laki-laki yang bernama Fadil Arizi yang biasa dipanggil Fadil. Dia seorang anak yang ditinggal mati ayah dan ibunya sejak berumur tujuh tahun. Kemalangannya menjadikan dia seorang anak yang sabar dan pekerja keras. Demi kelangsungan hidup dia dan neneknya, mengharuskannya bekerja tanpa putus asa, walaupun hanya mengandalkan satu kaki kanannya. Sebab kaki kirinya tak terbentuk sejak kelahirannya. Dari dulu yang menjadi temannya untuk berjalan adalah kursi roda peninggalan orang tuanya. Setiap hari bersama kursi rodanya dia berjualan gorengan setelah sepulang sekolah. 
“Gorengan, gorengan, gorengan….” dengan keringat yang membasahi bajunya, Fadil berkeliling menjajahi gorengan.
“Ibu, mbak… gorenganya masih hangat, silakan dibeli…” kata Fadil sambil menawarkan gorengan pada kerumunan perempuan di pinggir jalan.
“Iya dek, saya beli sepuluh ya dek, nih uangnya” kata seorang ibu sambil memberikan satu lembar sepuluh ribuan.
“Ini ibu gorengannya, terimakasih ya bu” dengan mata penuh syukur Fadil menyerahkan gorengan pada ibu itu.
Sepulang menjual gorengan Fadil kelelahan memasuki rumahnya mungilnya. Dengan wajah pucatnya dia menghampiri neneknya yang sedang berbaring karena sakit.
“Nek, alhamdulillah hari ini gorenganku habis, Allah melancarkan rezeki padaku untuk pengobatan nenek, terimakasih ya Allah…” seru Fadil sambil menggenggam tangan keriput neneknya.
Keesokan harinya di Sekolah, Fadil mengobrol dengan teman sekelasnya, namanya Dani. Dani adalah satu-satunya teman sekelasnya yang selalu membela Fadil ketika di ejek dengan temannya yang lain. Mungkin karena dari lingkungan yang sama atau hanya karena sama-sama penjual gorengan, Dani selalu berusaha membantu Fadil ketika dalam kesulitan.
“Fadil,  gimana kemarin gorengannya laku?” tanya Dani.
“Iya Dan, Alhamdulillah kemarin gorenganku laku semua. Em.. kalau kamu gimana Dan?” tanya Fadil.
“Nggak laku semua sih Dil, masih ada sisanya sedikit, padahal sampai malam loh aku jualan, hah… kesal aku” seru Dani sambil memijit pelipisnya yang terasa sakit.
“Gimana ya Dil caranya jadi penyabar seperti kamu? Ya aku pernah mencoba sabar  tapi lama-kelamaan aku gak sanggup sendiri, benar kata orang sabar itu pasti ada batasnya” kata Dani dengan nada kesal.
“Gak boleh gitu lah, memang sulit pada awalnya tapi tetap berusaha karena Allah selalu bersama orang-orang yang sabar” kata Fadil sambil merangkul Dani
“Tapi gimana caranya?” 
“Setiap saat berusaha tenang dan selalu berzikir pada Allah…” sebelum Dani protes, Fadil kembali melanjutkan sarannya.
“Memang sulit, tidak semua orang bisa melakukannya tapi tetaplah berusaha bersyukur pada apapun yang Allah berikan, entah itu kesehatan, rezeki atau apapun itu” dengan nada setenang mungkin Fadil menjelaskan panjang lebar.
Setelah dahi Dani berkerut samar, pikiran kusutnya mulai lurus.
“Yach… aku akan berusaha semampuku dan akan selalu berdoa walaupun gorenganku tidak laku semua, aku akan tetap bersyukur” Dani mengepalkan semangat dengan tangannya.
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Terik matahari mulai terasa panas di atas kepala. Setelah sepulang sekolah Fadil dan Dani kembali berkeliling gang untuk berjualan gorengannya. Dan percakapan mereka kembali berlanjut.
“Enak ya Dil jadi kamu, walau orang tak punya tapi hidup kamu terlihat damai, kamu pintar dan di sukai guru-guru karena kesopanan kamu” Dani mulai menyanjung Fadil.
“Terlihat begitu ya?”
“Iya… memangnya kamu tidak merasa?” Tanya Dani penasaran karena wajah Fadil terlihat datar-datar saja.
“Yach… aku bersyukur hidupku sampai sekarang nyaman meskipun kadang sedih mengingat nenek sudah semakin tua, sebenarnya Dani ada satu keinginanku yang belum bisa ku wujudkan dan mungkin sulit untuk menjadi nyata” jelas Fadil terbata-bata.
“Oh ya apa itu, boleh aku tahu?”
“Aku ingin menjadi atletic” jawab Fadil berhasil mengejutkan Dani.
“Hah… atletic? Dengan satu…. Ah.. maaf, maaf lupakan…” Dani dibuatnya linglung.
“Kamu tahu sendiri kan aku suka bola basket, kekuatan melemparku cukup bagus kata pak guru olahraga, tapi… menjadi atletic, ah… aku sadar kok akan diriku”
Sejenak keheningan menerpa diantara kekakuan perbincangan mereka. Dani ingin sekali menghibur teman satu-satunya itu. Tapi dia pun tak tahu caranya.
            “Walaupun tidak jadi atletic, kamu bisa bermain basket sepuas kamu, kamu bisa berlatih jika kita mempunyai bola basket sendiri” hibur Dani.
            “Kamu benar Dan, oh ya gimana kalau kita mulai berbisnis, kita saling membantu jualan gorengannya, kita coba mendirikan warung kecil-kecilan, hitung-hitung tidak hanya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tapi kita juga bisa menabung untuk keinginan kita”
“Aku sih oke-oke aja, tapi modalnya kita nyari kemana?” kata Dani
“Kita jualan dulu, kalau kita dapat uang banyak nanti kita tabung” kata Fadil
“Oke aku setuju” Dani mengacungkan jempol tanda setuju. 
Mereka pun berjualan dengan penuh semangat, optimis dan penuh keyakinan.
“Kayak gini dong kerja keras, optimis dan selalu berdoa kepada Allah” kata Fadil.
Setelah lima bulan mereka menyisihkan untuk menabung hasil jualannya, mereka akhirnya berhasil membuka warung gorengan walaupun masih kecil. Namun Alhamdulillah banyak tetangga yang menjadi pelanggan tetap. Warung gorengannya tak pernah sepi, setelah mentari mulai tampak memerah di arah barat, itulah waktunya mereka pulang. Namun Fadil tidak langsung pulang, dia masih mampir ke lapangan basket untuk melakukan hobinya. Sekitar satu jam Fadil larut dalam permainannya. Benar kata pak olahraga, Fadil kuat dalam melempar bola basket. Dan tak pernah sekalipun dia sadari bahwa selama bermain ada sesosok yang diam-diam memperhatikannya.
Ketika hari kelulusan tiba, Fadil dan Dani berhasil lulus dengan nilai cukup istimewa. Tak di sangka sebuah amplop besar di berikan kepala sekolah pada Fadil. Dan ternyata isinya adalah formulir Peserta Pelatihan Bola Basket untuk Difabel tingkat Kabupaten. Yach… Fadil diajak bergabung dengan pemain atletic bola basket yang diimpikannya.
            Sungguh tak ada kata yang cukup untuk mewakili kebahagiaan Fadil saat itu. Ternyata beginilah hasil perjuangannya selama ini. Terimakasih Allah!
Tamat

Portal Statistik
Ditulis Oleh : Husnul Khotimah Siswa kelas VIII di MTs Istikmalunnajah Pasongsongan. Gemar membaca dan menulis. Bergabung di komunitas FLP MTs I. Bercita-cita menjadi penulis terkenal.
Cerpen - Sebias Asa 0

Cerpen - Sebias Asa


Semilir angin menuai lamunan, berhembus menciptakan ketenangan. Kicau burung tak jelas terdengar karena pikiran kembali melayang. Menghayalkan masa depan bersama asa yang telah terekam. Berharap fakta didepan mata, untuk mengukir sejarah baru bersama cita.

Diam…..

Semua diam lama mematung. Tiba-tiba raung loudspeaker menggetarkan jiwa. Semua harap-harap cemas, termasuk aku dan ke-tiga sahabatku. Satu per-satu nama dipanggil. Ketiga sahabatku sudah menerima amplop masing-masing, hingga akhirnya akupun menerimanya. Kami sepakat untuk menukar dan membukanya secara bersamaan.

Satu…..dua…..tiga! Bismillah…..

Sejenak hening, dan

            “Rada, kamu lulus?” kata Nita

            “Ana, kamu lulus?” kata Rada

            “Nita kamu lulus?” kataku girang

Tapi…..

            “Aku lulus juga kan An?” kataku cemas.

Kulihat ekspresinya berubah.

            “Kamu lulus Firza, nilaimu tinggi!” teriak Ana mengagetkanku

            “Beneran An!” kata Rada dan Nita serentak. Ana mengangguk pasti, kulihat kertas putih itu,     masyaallah rata-rataku sembilan. Aku sangat bersyukur lalu aku memutuskan untuk menghubungi keluargaku dan memintanya untuk mengunjungiku besok sore di Pondok.

*    *    *

Sore memperindah hariku. Setelah hadiran ashar, aku bersiap-siap menunggu i-phone memanggilku, dan entah berapa lama suara yang ku-tunggu bergema juga. Aku langsung lari kekantor dan di sana tampak Ibu dan Kakakku sedang duduk.

“Assalamualaikum, Ibu….Kakak” aku mencium tangan keduannya. Lalu duduk di tengah-tengah mereka, orang-orang yang sangat aku sayangi.

“Bagaiman, kamu lulus kan, nak…..” Tanya Ibu.

“Iya, Alhamdulillah Firza lulus Bu, kak” jawabku dengan raut sumringah.

“Oya… Bapak mana Bu?” tanyaku kemudian.

“Dirumah, sedang ada tamu, ” kata Ibu singkat.

“Oya, adik mau ngelanjutin kemana?” kata Kakak mengagetkanku. Aku berpikir sejenak, mengingat mimpi-mimpi yang sudah sejak dulu aku angankan. Apakah aku harus member tahu mereka sekarang? Ah..ya ini adalah waktu yang tepat.

“Kalau boleh, Firza ingin kuliah di luar negeri Bu, Firza ingin ke negeri Sakura, ingin belajar banyak hal di sana, em….. boleh tidak Bu” kataku pelan berharap jawab yang mengembirakan.

“Di Korea ” Kakak bergumam.

Seketika hening, semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Hatiku mulai berdetak tak karuan. Aku takut tak bisa mengendalikan perasaan. Hah… Ibu, ayolah segera jawab, jangan buat aku penasaran.

            “Hm… gimana ya dik, apa tidak terlalu jauh?” kata kakak membuatku pias pelan-pelan. Lalu ku pandang Ibu yang sedari tadi diam. Ku lihat dahi Ibu berkerut samar, itu tandanya Ibu sedang berpikir keras.

            “Firza sadar kan kalau Firza itu perempuan?” Tanya ibu mengagetkanku, apa hubungannya dengan pendidikanku?

            “Firza sadar kok Bu, sangat sadar, ya… Firza ngerti Ibu hawatir tapi Firza bisa jaga diri Bu, ada banyak teman-teman Firza di sana, ada gurunya Firza juga kok, jadi Ibu jangan terlalu hawatir ya” jelasku panjang lebar. Aku tak ingin hanya karena aku seorang perempuan, cita-citaku tak kesampaian. Aku harus buktikan bahwa seorang perempuan juga berhak diberi kesempatan.

            Namun entah, apa yang ada dipikiran Ibu. Semoga ibu paham akan impianku.                 

            “Ya…..kalau Firza inginnya seperti itu apa boleh buat, asal Firza harus janji akan baik-baik saja dan belajarnya yang benar” tutur Ibu membuatku bersorak gembira.

Huff.. akhirnya,

            “Terima kasih, Bu” akupun memeluk Ibu erat-erat.

*    *    *
14 Juli 2008

            Entah! Tak pernah kurasakan kegelisahan seberat ini. Hari ini adalah pendaftaran terakhir untuk mendapat beasiswa kuliah di negeri Sakura. Tapi mengapa Bapak belum datang juga. Aku butuh beliau sebagai waliku.  Aku hanya butuh kesaksiannya, itu saja. Aku duduk di teras kantor menunggunya. Tapi tak ada, hingga senja menyapa. Air mata mengalir di pipi, tak ingin beranjak dari tempat dudukku, tapi ketiga sahabatku menghampiriku.

            “Firza, ke kamar yuk, hari sudah petang” kata Ana sambil menarik lengan bajuku. Tapi aku tidak menghiraukannya.

            “Za, mungkin Bapakmu datang besok” Rada ikut nimbrung

            “Untuk apa datang besok, yang aku butuhkan hari ini,  tapi kenapa Bapak tidak datang”gerutuku kesal.

            “Mungkin Bapakmu sedang sibuk Za,”  Nita ikut menasehatiku.

            “Ah….. sudahlah, mungkin aku memang tidak ditakdirkan untuk sekolah di luar negeri, mungkin sampai di sini saja impianku kali ini” akupun berlalu dari tempat itu.

            Aku tak mengerti mengapa keluargaku mengizinkaku tempo hari jika nyatanya mereka tidak rela melepaskanku. Apa yang sebenarnya maksud mereka. Kenapa masih memberi harapan jika akhirnya tidak diizinkan. Ahk… aku benci, kenapa tak ada yang peduli padaku? Isakku semakin kencang, gemuruh kemarahan menjalar ke hatiku.  

*    *    *
            Pagi yang buta mengantarku pada kesedihan. Tak dapat dipungkiri, kubumikan asaku yang tinggal sebias saja. Aku menunggu raung i-phone memanggilku. Dan ketika terik mentari semakin menyengat, barulah dapat panggilan yang aku inginkan. Sebenarnya malas sekali kulangkahkan kaki ini menuju kantor. Tapi bagaimapun aku harus mendaptkan penjelasan dari Bapakku. Tapi kenapa malah sosok kakak yang ku dapati tengah men ungguku?

            “Assalamualaikum, dik Firza” sapa Kakak setelah aku duduk dihadapannya.

            “Walaikumsalam” akupun mencium tangannya. Sejenak kami bungkam, mungkin Kakak bingung untuk memulainya.

            “Kenapa kakak yang datang, kenapa bukan Bapak?” tanyaku langsung. Ku lihat  wajahnya berubah pucat, seakan ada sesuatu yang ia sembunyikan.

            “Maafin Bapak ya Dik, beliau tidak bisa datang, rencananya kemarin kakak yang datang tapi kemarin kakak harus menemani bapak…”

            “Kenapa gitu, memangnya Bapak kemana kak, masa’ Bapak tidak bisa meluangkan waktunya walau sedikit, apa beliau sudah tidak sayang lagi pada Firza?” kataku mulai menangis.

            “Jangan  bilang begitu Dik, kakak tahu kamu marah, ya.. kakak paham tapi cobalah mengerti alasannya” kata kakakku membuatku semakin kesal.

            “Apa yang bisa aku mengerti kak bila semuanya tidak jelas begini, aku menunggu kak, menunggu hingga batas terakhir, hingga tak ku pahami harapanku sendiri” kini air mataku tak bisa ku bendung.

            “Dik… dengar, kau salah menilai Bapak, beliau sangat menyayangimu, sangat Dik, kau tahu Bapak…Bapak seperti ini demi kamu Dik…”

            “Apa maksud ka kak? Bapak kenapa?” tanyaku mulai hawatir dengan penjelasanya. Awalnya kakak enggan untuk menjelaskan, tapi aku paksa hingga akhirnya aku tahu semuanya. Ternyata Bapak selama ini sakit parah. Kini air mataku menganak sungai, aku tak b isa berpikir banyak. Dengan langkah Seribu, aku langsung minta izin kepengurus untuk pulang. Di perjalanan tak hentinya air mata mengalir dari pelupuk mataku

“Ya Allah maafkan aku, selamatkan bapak ya Robby…..” gumamku dalam hati.

 Aku sangat berdosa menganggap keluargaku tidak memperhatikanku padahal semuanya begitu sayang padaku. Sampai-sampai mereka menyembunyikan penyakit bapak agar aku dapat konsen pada UAN kemarin. Ternyata selama tiga bulan terakhir Bapak terbaring tak berdaya, beliau mengidap menyakit TBC.

Setelah tiba dirumah, Ibu menyambutku dengan mata sembab.

“Bapak bagaimana ibu…?”tanyaku pada ibu.

Ibu menjawabnya dengan isyarat mata, lalu aku kekamar Bapak. Kulihat wajah pucat itu terbaring ditempat tidur. Kucium keningnya begitu hangat.

“Bapak…bapak harus kuat melawan penyakit bapak, Firza selalu doain bapak. Bapak harus sembuh” bisikku pelan ditelinganya. Matanya pelan-pelan terbuka.

“Za…. Firza”

“ya… Bapak Firza di sini, apanya yang sakit pak?” tanyaku pada bapak yang tampak menahan sakit. Namun bapak hanya menggeleng pelan. Ku lihat garis senyum di bi birnya.

“Bapak rindu sekali nak padamu…” kata bapak terbata-bata. Aku mengangguk meng-iyakan. Bapak… Firza juga rindu. Tapi mata bapak terkatup kembali, nafasnya lembut terdengar. Bapak tertidur lagi.

 Aku tidak ingin mengganggunya. Ku pakaikan selimut tebal ke tubuhnya yang ringkih. Ku cium tangannya yang mulai keriput. Tuhan….. tolong sembuhkan Bapak, angkatlah penyakitnya, kembalikan beliau seperti sedia kala.

Kini aku mengerti, tidak ada orang tua yang tidak sayang pada anaknya. Sekalipun tampak tak peduli tapi jauh dilubuk hatinya ada rasa sayang yang tak terbilang. Rasa yang tak kan lenyap tertelan masa.

Akupun berpikir kembali. Tak ada yang salah bila mimpi tertunda. Masih banyak mimpi yang menunnggu gilirannya. Mungkin tak bisa sekarang, siapa tahu tahun depan. Akan ada ganti yang lebih indah bila hati mengikhlaskan. Semoga aku termasuk di dalamnya.

“Ibu….Firza akan kuliah di pondok, ibu jangan hawatir Firza dan kak Arief akan tetap bersama ibu dan bapak, ibu jangan sedih ya….” Kataku pada ibu.

“Tapi nak… bagaimana dengan impian kamu?” Tanya ibu prihatin.

“Firza ikhlas bu, tidak terwujud sekarang mungkin kapan-kapan, yang penting sekarang kesehatan bapak" ibu memelukku erat, mencium keningku dengan linangan air mata. Aku tak bisa tuk tak ikut menangis.

“Nak… maafin bapak dan ibu ya, Ibu selalu mendoakanmu yang terbaik, kami sangat menyayangimu dan berharap besar padamu” bisiknya di telingaku. Ibu Firza juga sayang ibu.

“Adikkk…” terdengar teriak kak Arief dari luar rumah.

“Ada apa kak kok teriak-teriak, bapak sedang tidur” tegurku pelan.

“Maaf bu, tapi ini kabar gembira” katanya penuh semangat.

“Ada apa Rief?” Tanya ibu penasaran.

“Dik ini ada SMS untuk kamu” katanya sambil menyodorkan HP padaku.

“Dari siapa?”

“Baca saja”

“ assalamualaikum wr.wb,

Untuk saudari Firza Hasanah Putri Bapak Syamsul Hadi beralamat di Pasongsongan Sumenep,  selamat anda mendapatkan beasiswa berprestasi untuk melanjutkan pendidikan tingkat PT di luar negeri dengan biaya hidup selama masa pendidikan. Diharap kehadirannya hari senin tanggal 25 juli 2008 di kantor Departemen Pendidikan nasional Surabaya untuk mengurusi perlengkapan data. Terimakasih.”  

Tak bisa ku ucap sepatah kata, inikah rahasiamu tuhan!

“al hamdulillah, Allah sungguh menyayangimu nak” rengkuh ibu sekali lagi. Aku tak percaya tuhan, tapi terimakasih Engkau maha bijaksana.

Istana cinta FLP, September 2013
*perempuan yang teramat biasa yang berusaha menjadi luar biasa.

Ditulis Oleh : Hiro Syarief
Nama pena dari Hidayatur Rohimah. Alumni MTs Istikmalunnjah dan kini menjadi guru pembimbing Ekstrakurikuler FLP di almamaternya.
Cerpen - The Miracle 0

Cerpen - The Miracle


Di kelas XII IPS SMA Nusa Bangsa, pak Anton sedang bertanya kepada siswa-siswanya.

“Anak-anak … Bapak mau tanya cita-cita kalian setelah dewasa nanti mau jadi apa?”

“Saya mau jadi pengusaha pak” jawab Anggi ketika ditunjuk pak guru.

“Kalau Ana?” Tanya pak guru pada siswi yang berambut kepang di samping Anggi.

“Dokter pak” jawab Ana antusias.

“Kalau Sisi?” Tanya pak guru lagi.

“Mentri pak” serentak semua siswa menoleh pada Sisi dan serempak kemudian mereka tertawa terbahak-bahak.

“Kenapa ketawa?” Tanya pak guru penasaran.

“Haha… kalau mimpi tuh jangan ketinggian Sisi, nanti jatuh hilang nyawa lagi” seru salah satu siswa yang duduk di belakang.

“Masak peringkat 30 mau jadi mentri sih pak, gak sadar diri apa, ya gak teman-teman…” ejek Siska salah satu siswa terpandai di kelas itu.

Sisi merasa malu ditertawakan teman sekelasnya, ditambah ejekan Siska yang sangat menusuk sanubarinya.

Kringgg………. bel istirahat berbunyi. Semua siswa keluar kelas menuju kantin. Namun lain halnya dengan Sisi, ia termenung sendiri, tampaknya masih memikirkan perkataan Siska tadi.

“Bener juga kata Siska, mimpiku terlalu tinggi, mana mungkin bisa aku meraihnya” rutuknya dalam hati.

Duaarrrr…. seketika Roni mengagetkan Sisi yang tengah melamun.

“Roni kamu nih yach ngagetin aja” kata sisi dengan nada kesal. Roni adalah salah satu temannya dari kelas lain.

“Ya…ya.. maaf, habis kamu melamun sendiri sih, memangnya apa yang kamu pikirkan?” Tanya Roni pada Sisi yang tak biasanya melamun sendiri.

“Roni… kalau kita punya cita-cita yang tinggi emang gak boleh ya?” Tanya Sisi membuat Roni sedikit kebingungan.

“Boleh kok kata siapa gak boleh”

“Menurut kamu, aku bisa gak meraih cita-cita aku meskipun itu terlihat mustahil” Tanya Sisi mencoba mencari jawaban akan kegelisannya sedari tadi.

“Ya tentu bisa lah, asalkan kamu mau berusaha maksimal” kata Roni berhasil menjawab pertanyaan yang Sisi coba tanyakan pada dirinya sendiri.

“Oh ya… berarti aku punya kesempatan dunk” Sisi antusias dengan jawaban yang ditunggunya.

“Jadi itu yang bikin kamu melamun dari tadi?” Tanya Roni menggoda Sisi.

“Hehe…” Sisi hanya cengengesan sendiri.

“Kamu bisa bantu aku gak Ron?”

“Bantu apa?”

“Bantu belajar, kamu kan peringkat 3 di kelas kamu, pasti lebih pinter lah dari aku, mau ya?” pinta Sisi dengan penuh harap.

“Hem.. gimana ya?” Roni pura-pura berpikir, berniat menggoda Sisi. Lalu sejurus kemudian Roni mengangguk, meng iyakan pinta Sisi, temannya itu.

“Beneran Ron???” Tanya Sisi tak percaya. Roni pun kembali mengangguk pasti.

“Yes… makasih Ron… kamu emang temanku yang paling baik” seru Sisi kegirangan.

            Sejak obrolan itu, Sore harinya Sisi pergi ke rumah Roni untuk belajar bersama. Nampaknya mereka sangat serius tidak ingin diganggu. Dua hari sekali mereka belajar bersama baik di rumah Sisi ataupun di rumah Roni. Dan akhirnya tibalah musim ujian semester.

***
            Setelah dua minggu sehabis PTS, hari senin itu adalah pembagian raport. Semua siswa penasaran, merasa takut, gemetar, dan deg-degan. Sisi membuka lembar demi lembar raportnya. Dilihatnya peringkat saat ini, dan seperti biasa peringkat yang sedari dulu tak berubah. Angka 30 bertengger jelas di kotak peringkat.

“Ah… kenapa tak berubah, sia-sia aku belajar selama ini…” rengek Sisi mulai menangis.

“Hei… jangan bersedih begitu, masih ada semester akhir, kamu harus lebih keras lagi belajarnya…

            aku saja yang mengajari kamu gak putus asa kok” hibur Roni gak tega melihat mata Sisi yang mulai sembab.

“Sabar ya Sisi, ayo kita belajar lagi” Sisipun mengangguk perlahan.

            Sejak saat itu Sisi mulai bertekad untuk menghabiskan waktunya hanya untuk belajar dan belajar. Sehabis pulang sekolah Sisi tetap melakukan rutinitasnya belajar bersama Roni di rumah Roni. Dan setelah di rumahnya Sisi belajar sendiri, mengulang apa yang dipelajari bersama Roni.

***
            Tanggal 02 Mei adalah pengumuman siapa saja siswa yang lulus. Setiap siswa kelas akhir diberi amplop putih. Sisi membukanya perlahan, berharap hal baik datang padanya. Setidaknya dia lulus dengan nilai cukup.

SELAMAT!
NUR AZIZAH KAMAL
“LULUS”
MENJADI TERBAIK KE 3 SELURUH SMA SE KABUPATEN

            Sisi luruh dalam derai tangisnya. Dia benar-benar tak menyangka keajaiban itu benar-benar datang dalam hidupnya. Dulunya ia ranking 30, tapi sekarang malah menjadi terbaik tidak hanya di sekolahnya tapi seluruh SMA se Kabupaten. Semua teman-teman dan juga gurunya tidak menyangka jika mereka tidak melihat seberapa keras Sisi berusaha. Sungguh keajaiban yang luar biasa.

            Semua teman-temannya sibuk memperbincangkan universitas yang akan mereka pilih, sedangkan Sisi tak bisa berharap banyak, karena dia tidak akan mungkin bisa kuliah. Karena Ibunya sedang sakit, tidak punya harta ataupun tabungan. Ia hanya pasrah berharap keajaiban kembali datang.

            Sisi di panggil wali kelas ke ruang guru, pak Anton memberikan sebuah amplop coklat. Sisi pun membukanya dengan perlahan. Mata Sisi melotot ketika tahu bahwa kertas di dalam amplop adalah surat penberitahuan bahwa dirinya mendapat beasiswa di Universitas terbaik di Kota. Sisi melompat kegirangan seperti anak kecil. Kini ia bisa mewujudkan mimpinya tanpa memberatkan keluarganya. Dan sungguh keajaiban itu benar-benar datang pada orang yang berusaha mendapatkannya.

Portal Statistik
Ditulis Oleh : Nur Zelfi Firdaus Dengan nama pena Zaira Firdaus, lahir di Sumenep 06 April. Ia suka membaca dan menulis puisi. Pernah memenangkan lomba cipta cerpen pada Class Meeting di sekolahnya. Ia sekarang tengah duduk di bangku kelas VIII di MTs Istikmalunnajah